Al-Qur’an adalah Wahyu berwujud interaksi antara sang pencipta dan utusan-Nya; pemberi dan penerima untuk diajarkan dan disebarkan kepada seluruh umat manusia sesuai apa yang dikehendaki-Nya dengan apa yang tertulis di al-Qur’an..1
Al-Quran adalah wahyu suci yang diturunkan Allah untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia, mengangkis mereka dari zona kegelapan menuju zona terang benderang, memboyong mereka dari dimensi waktu yang penuh kebutaan dan kesesatan jahiliyah, ke masa di mana kecemerlangan dan kecerahan manusiawi menemukan wadah yang layak.2
Al-Qur'an merupakan pedoman hidup dan kehidupan kita, menginformasikan berita terdahulu maupun yang akan datang dan menjelaskan segala sesuatunya.3 Berdasarkan firman Allah :
ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء ( النحل : 89 )
Artinya : dan kami menurunkan Al-Qur'an untuk menjelaskan segala sesuatunya.
ما فرطنا فى الكتاب من شىء ( الأنــعام : 38)
Artinya : tiadalah yang kami alpakan dalam Al-Qur'an.
Rasulullah bersabda: "Wahai Ali, sesungguhnya akan terjadi bencana-bencana."
"Lantas apakah jalan keluar darinya, Wahai Rasulullah?" Beliau menjawab:
"Kitabullah Azza wa Jalla. Di dalamnya ada berita tentang zaman sebelum zaman kalian, ada pemutus perkara di antara kalian, dan ada informasi tentang zaman setelah zaman kalian Al-Quran itu tegas dan tidak main-main. Siapapun orang angkuh yang meninggalkannya, maka ia akan dihempaskan oleh Allah, dan barangsiapa yang mencari petunjuk di selain Al-Quran, maka Allah akan menjadikannya tersesat.Al-Quran adalah tali Allah yang erat. Al-Quran adalah peringatan yang mantap. Dan Al-Quran adalah jalan yang lurus. Al-Quran lah yang tidak akan membuat lisan menjadi kacau ataupun keinginan menjadi menyimpang. Al-Quranlah yang tidak akan usang meskipun sering diulang-ulang. Para cendekia tidak akan pernah kenyang untuk terus mereguk Al-Quran. Para ahli takwa tidak akan pernah merasa jenuh dengan Al- Quran. Dan Al-Quran tidak akan pernah habis keajaibannya. Al-Quranlah yang begitu para Jin mendengarkannya, mereka spontan menyatakan: Kami telah mendengar sebuah bacaan yang sungguh menakjubkan Barangsiapa berbicara menggunakan Al-Quran, maka ia akan benar.Barangsiapa menghakimi menggunakan Al-Quran, maka ia akan adil. Dan barangsiapa berpegang teguh dengannya, maka ia akan ditunjukkan kejalan yang lurus." (HR. At-Tirmidzi)
Susunan al-Qur'an yang sistematik 4 juga merupakan alasan tersendiri mengapa penafsiran dan penggalian terhadap makna ayat-ayatnya justru menjadi tugas umat yang tak pernah berakhir. Hal ini ditopan dengan keyakinan umat Islam bahwa al-Qur'an adalah Kitab suci yang berlaku abadi sepanjang masa. Oleh karena itu, ia memerlukan interpretasi dan reinterpretasi secara terus menerus mengikuti perkembangan zaman. Jelasnya, selalu dibutuhkan adanya reaktualisasi nilai-nilai al-Qur'an sesuai dengan dinamika al-Qur'an tersendiri.
Oleh karena itu, eksistensi al-Quran, sepanjang perjalanannya, menyedot perhatian setiap pecintanya. Tak pelak, mereka terobsesi untuk memahami kandungan makna di balik ayat-ayat sucinya. Para sahabat, misalnya, sangat antusias dalam menerima dirasah Qur’âniyah, sehingga tidak sedikit yang menjelma menjadi tokoh-tokoh tafsir. 5
Maka, al-Qur’an sebagai satu-satunya kitab suci yang terakhir yang ditujukan kepada seluruh umat manusia dan segala era harus rela untuk menerima segala penafsiran dan pentakwilan yang beragam dari berbagai manusia dengan berbagai macam tipologi pemikirannya. Karena nash al-Qur’an yang cukup singkat dan terbatas harus selalu digali makna dan kandungannya untuk menjawab segala problematika kemanusiaan dan tantangan globalisasi zaman.
Berbicara mengenai tafsir al-Qur’an dari segi apapun, sebenarnya seseorang tidak bisa terlepas dari pembahasan mengenai pandangan mufassir terhadap al-Qur’an6 karena tafsir itu sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci al-Qur'an, telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keaneka-ragaman dalam corak penafsiran adalah hal yang tak terhindari. Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman itu ; perbedaan ke cenderungan, interest dan motivasi mufassir ; perbedaan misi yang diemban ; perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari ; perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi dan sebagainya. Semua ini menimbul kan berbagai corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran Tafsir yang bermacam-macam.7 Bertafsir itu usaha menguak pesan wahyu sejauh kemampuan. Tentu, disiplin masing-masing mufassir melatar-belakangi pemahaman.
Upaya untuk menafsirkan al-Qur'an guna mencari dan menemukan makna-makna yang terkandung di dalamnya telah dilakukan semenjak zaman Rasulullah saw. Al-Qur'an sendiri mendorong ke arah itu, baik eksplesit maupun implesit.
Secara eksplisit, al- Qur'an memerintahkan kita untuk menyimak dan memahami ayat-ayatnya, "apakah mereka tidak menyimak al-Quran ? kalau sekiranya al-Quran itu bukan berasal dari sisi Allah,tentulah mereka mendapati pertentangan di dalamnya" (QS.al-Nisa'/4:82). "Maka apakah mereka tidak menyimak al-Quran atau kah hati mereka lah yang terkunci." (QS. Muhammad/47:24). (Cf.QS.Shad/ 38:29).
Secara implisit, upaya mencari penafsiran ayat-ayat al-Quran dimungkinkan oleh peryataan al-Quran sendiri bahwa ia diturunkan oleh Tuhan untuk menjadi petunjuk 8 dan rahmat 9 bagi manusia, baik selaku individu maupun sebagai kelompok masyarakat. Agar tujuan itu terwujud dengan baik, maka ayat-ayat al-Qur'an yang umumnya berisi konsep-konsep, prinsip-prinsip pokok yang belum terjabar, aturan-aturan yang masih bersifat umum dan sebagainya, perlu dijelaskan, dijabar kan dan dioperasionalkan, agar dapat dengan mudah diaplikasikan dalam hidup manusia.
Di zaman sahabat saja yang notabene masih hidup berdampingan dengan Rasulullah sudah muncul perbedaan dalam memahami kata-kata di dalam al-Qur’an apalagi kita yang hidup 13 abad setelah rasul Muhammad menerima wahyu untuk yang pertama kali. Satu jawaban singkat dan logis dari penafsiran yang beragam ini adalah ketidaksamaan kemampuan manusia dalam memahami substansi wahyu. Dalam hadist disebutkan bahwa, “kami para nabi diperintah untuk berkata kepada manusia (menyebarkan ajaran-Nya) sesuai dengan tingkatan kemampuan berpikirnya”.
Semenjak Rasulullah Wafat, kajian tafsir cukup mendapat perhatian dan berkembang abad demi abad sebegitu pesat dalam tradisi keilmuan Islam. Kajian ini terkemas dan tertulis rapi dalam berbagai klasifiikasi ilmu dengan beragam corak penulisan, baik berupa syair, prosa, karya ilmiah berjilid-jilid maupun sekedar komentar-komentar kecil (Hâmisy) ataupun berupa Syarh karya-karya pemikir terdahulu. Konsekuensi logisnya, kajian dan karya-karya tafsir yang beragam itu bisa diklasifikasikan ke dalam beberapa pola dan sarat untuk dikritisi. Para ulama telah banyak yang mencoba mengklasifikasikan corak penafsiran al-Qur’an dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Ada yang menyentuh pokok persoalan dan ada juga yang hanya bersinggungan dengan kulitnya saja.
Dilihat dari metode penafsiran dan coraknya, tafsir digolongkan menjadi dua, yaitu; pertama, tafsir bi al-ma’tsur dan kedua, tafsir bi al-ra’yi. Pertama, tafsir bi al-ma’tsur. Terma tafsir bi al-ma’tsur oleh para ulama dimaknai dengan tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Sunnah, Qaul Shahâbî, atau Qaul Tabi’î. Corak dan pola tafsir ini bisa dibilang murni periwayatan, walaupun dalam beberapa kitab tafsir sejenis, masih sering kita temukan pendapat-pendapat pribadi yang bersifat ideologis pribadi dan agak sedikit keluar dari terma yang diusung lewat kitab tafsir dengan corak periwayatan ini. Hal inilah yang kemudian banyak memunculkan anggapan dan ungkapan-ungkapan yang skeptis terhadapa tafsir jenis ini. persoalannya bermula dari ketidak konsistenan sang pengarang itu sendiri dalam mengawal terma bi al-ma’tsur.
Tafsir Bi-al Ma'tsur (Riwayah)
Seperti dikemukakan di atas, tafsir al-ma'sur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an berdasarkan nash-nash, baik dengan ayat-ayat al-Qur'an sendiri, dengan hadis Nabi, dengan aqwal (perkataan) sahabat maupun dengan aqwal tabi'in.10
Riwayat hadis Rasul yang berisi tafsiran al-Quran diterima para Tabi'in lewat Sahabat. Di Mekah kemudian terbentuk Thabaqat al-Mufassirin yang dipimpin Ibnu Abbas; di Kufah juga muncul Thabaqat dari Ibnu Mas'ud, dan di Madinah Thabaqat yang dipelopori Zaid bin Aslam. Dari Tabi'in beralih pada Tabi'i at-Tabi'in seperti Imam Sufyan bin ˜Uyaynah, Wakiâ al-Jarrah, Syu'bah al-Hajjaz, Zaid bin Harun dan ˜Abd bin Humaid. Mereka inilah yang lantas menjadi perintis jalan bagi Muhammad bin Jarir at-Thabari, pemuka dari segala ahli tafsir dan merupakan sumber bagi tafsir-tafsir sesudahnya.
Dari uraian di atas, obsesi mufassir dalam metodologi penafsirannya, mulai zaman Sahabat sampai zaman at-Thabari mengacu pada tendensi tafsir literal (bi al-ma'tsur, tafsir yang dilakukan dengan cara menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan hadis atau dengan ijtihad Sahabat) yang masih murni sebagaimana yang diajarkan Nabi.WAlaupun tak bias diungkiri bahwa pasti dalam menafsirkan ayat al-Qur’an terdapat kata-kata mufassir seperti pada tafsir at-Thabari.
Pada era selanjutnya, hasrat mendekati al-Quran lewat jalan tafsir membludak. Sudah mulai muncul berbagai penafsiran, aliran dan pendapat. Para mufassir berusaha mengkaji al-Quran dari berbagai aspek sesuai dengan profesionalitas mufassir itu sendiri; ahli fikih mengkaji ayat-ayat yang bisa dijadikan dasar hukum fikih, ahli bahasa memusatkan perhatian pada gaya bahasa dan unsur gramatika al-Quran. Hal ini dapat dipahami karena mereka terpengaruh oleh komposisi al-Quran yang lebih cepat menyambar telinga dari pada makna yang untuk memahaminya masih membutuhkan nalar. Namun, mereka tidak sadar bahwa menitikberatkan penafsiran pada aspek gaya bahasanya saja dapat menghampakan al-Quran dari makna kandungannya. Bukan berarti gramatika tidak dibutuhkan, bahkan ia merupakan perangkat konstruktif pemahaman akan makna dan pesan yang dikandung al-Quran.11
Corak periwayatan ini muncul dari kegelisahan para sahabat ketika sudah final tidak menemukan penjelasan Nabi saw, mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair arab. Bahkan setelah masa sahabat pun, para tabi’in dan tabi’it at-tabi’în masih mengandalkan metode periwayatan dan referensi kebahasaan seperti pada zaman sahabat 12
Akan tetapi Dr. Jamal al-Banna dalam salah satu bukunya, mengkritisi dengan gamblang akan kelemahan metode riwayat ini. Beliau menggaris bawahi bahwa tafsir-tafsir jenis ini terlalu sering memakai riwayat-riwayat yang tidak berdasar atau dengan kata yang lain, riwayat palsu. Bahkan banyak sekali isra’illiyât atau kisah-kisah tak berdasar yang bercerita seputar penciptaan adam dan hawa, surga dan neraka, kisah-kisah peperangan, kepahlawanan dan sebagainya yang berasal dari periwayatan-periwayatan taurat ataupun yang lain yang sudah banyak sekali mengalami perubahan dan penyelewengan. Ada satu pendapat yang dikutip Jamal al-Banna, bahwa kecenderungan-kecenderungan itu muncul bermula dari kesulitannya sang mufassir dalam mencari periwayatan yang mempunyai nilai validitas tinggi,. Atau dengan bahasa singkat, minimnya periwayatan yang murni berasal dari Rasulullah itu sendiri.
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul saw. sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.13
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti: (a) Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas; (b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan (c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Sebagai contoh ayat yang ditafsirkan dengan ayat adalah :
ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين ( البقرة : 2 )
Artinya : " Itulah Al-Qur'an yang tiada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi Muttaqin ".
Kata "Muttaqin" masih bermakna universal dan umat islam pun belum mengetahui makna, substansi dan sifat Muttaqin bilamana Al-Qur'an tidak memberi penjelasan tentang kata "Muttaqin".salah satu ayat yang menjelaskan tentang pengertian segaligus merupakan sifat Muttaqin adalah :
الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقناهم يوقنون ( البقرة : 2 )
Artinya : ( yaitu ) orang-orang yang beriman terhadap hal-hal yang gaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.
Dengan penjelasan tersebut jelas lah yang dimaksud Muttaqin.
Sebagai contoh penjelasan Rasul terhadap suatu ayat, dalam hal ini ayat tersebut dijelaskan oleh Nabi diatas mimbar :
واعد لهم ما استطعتم من قوة ( الانفال :60 ) الا ان القوة الرمى ( اخرجه مسلم و غيره عن عقبة بن عامر )
Artinya : " Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka dengan quwwah.
Rasul menjelaskan bahwa yang dimaksud 'quwwah' dalam ayat tersebut adalah memanah.14
Sebagai contoh ayat yang dijelaskan oleh Nabi akibat kesamaran ayat tersebut di kalangan sahabat, lalu sahabat pun bertanya tentang ayat tersebut :
الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم ( الانعام : 82 )
Artinya : " Merekalah orang-orang yang tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan zhulm.
Sahabat berkata tiada seorang pun diantara kami yang dapat mengamalkan ayat ini. Nabi seraya bersabda bahwa ssungguhnya ayat ini bukan bermakna dari apa yang kalian maksudkan tapi ingatlah perkataan hamba Allah yang shaleh, lukmanulhakim dalam surah lukman ayat 13 :
إن الشرك لظلم عظيم
Artinya : sesungguhnya kesyirikan adalah benar-benar kezhaliman yang besar.
Jadi, makna zhalm yang dimaksud adalah kemusyrikan.15
Sepeninggalan Nabi, sahabat pun menggunakan ijtihad mereka dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an jika ayat tersebut belum dijelaskan oleh Al-Qur'an atau Al-Sunnah, begitu pula para tabi'in dan tabi' tabi'in.
Sebagai contoh atas penafsiran Al-Qur'an dengan ijtihad sahabat adalah :
الحمد لله فاطر السموات والأرض ( فاطر : 1 )
Artinya : segala puji bagi Allah, fathir langit dan bumi.
Ibnu Abbas berkata : fathir yang dimaksud adalah pencipta pertama atau yang memulai menciptakan.16
Mujahid yang merupakan tabiin berkomentar tentang surah al-Fatihah bahwa surah itu memilki berbagai nama diantaranya ’Umm al-Qur’an bahwa didalamnya terdapat inti sari atau sari pati dalam al-Qur’an mencakup isi kandungan al-Qur’an secara global.
Dapat disimpulkan bahwa nabi, sahabat, tabi'in menggunakan ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur'an. Tapi, sahabat dan tabi'in berijtihad berdasarkan ilmu alat yang berkualitas diantaranya ; mengetahui ilmu tata bahasa arab dengan mendalam beserta rahasia-rahasianya, mengetahui peradaban dan kebiasaan bangsa arab, mengetahui keadaan kaum yahudi dan nasrani di jazirah arab ketika turunnya Al-Qur'an beserta asbab nuzul Al-Qur'an, kuatnya pemahaman dan luasnya wawasan mereka tentang Al-Qur'an.17
Dimasukkanya riwayat para tabi'in sebagai bagian dari tafsir ma'tsur memang menimbulkan kotroversi. Para tabi'in dalam memberi penafsiran ayat-ayat al-Qur'an, tidak hanya berdasarkan riwayat yang mereka kutip dari nabi lewat sahabat, tetapi juga mema sukkan ide-ide dan pemikiran mereka. Dengan kata lain, mereka pun terkadang melakukan ijtihad dalam memberi interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur'an.18
Dalam hal yang terakhir inilah timbul pertanyaan, yaitu apakah pandapat para tabi'in itu pantas dikategorikan sebagai tafsir ma'tsur? Kalau pun bisa, sampai dimana tingkat kekuataanya sebagai dasar argumen? Berbeda halnya dengan sahabat-sa habat Nabi yang memang diakui memi liki integritas dan kemungkinan yang paling besar untuk mengetahui penafsiran dari sesuatu ayat berdasarkan petunjuk Nabi.19 Oleh karena itu,, kalaupun ada diantara sahabat yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an berdasarkan ijtihadnya, maka masih tetap dianggap wajar untuk digolongkan dalam deretan tafsir ma'tsur.
Dalam kaitan ini, menarik untuk disimak ucapan Imam Abu Hanifah, "Apa saja yang berasal dari Rasulullah, maka kita junjung tinggi, dan apa yang datang dari sahabat kita pilih, sedangkan apa yang berasal dari tabi'in maka mereka adalah laki-laki dan kita juga adalah laki-laki."20. Abu Hanifah wajar mengatakan hal itu karena ia pun termasuk tabiin.
Tafsir ma'tsur yang paling tinggi peringkatnya adalah tafsir yang berdasarkan ayat-ayat al-Qur'an yang ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat kedua adalah tafsir ayat dengabn hadis. Dibawahnya adalah tafsir ayat dengan aqwal sahabat dan peringkat terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal tabi'in.21
Kelebihan tafsir jenis ini adalah keterbatasannya dari interpretasi akal dan ide mufassir serta adanya kemudahan untuk mengetahui maksud suatu ayat. Apalagi tafsir ayat dengan ayat berdasarkan petunjuk Rasulullah saw. yang tentunya memiliki tingkat validitas yang sangat tinggi karena yang paling mengetahui maksud suatu ayat adalah Tuhan sendiri. Sesudah itu Rasulullah sebagai mufassir pertama dan utama dari al-Qur'an.22
Sedangkan kelemahannya adalah terbatasnya persediaan riwayat yang merupakan tafsir ayat-ayat al-Qur'an sehingga tidak terlalu banyak diharap untuk menjawab berbagai problema yang dihadapi masyarakat dari masa ke masa.23 Selain itu, hadis-hadis yang ada pun masih memerlukan penelitian yang cermat untuk mengetahui kadar kesahihannya.24 Antara lain, banyak diantara riwayat demikian bercampur dengan israiliyat, suatau noda yang menonjol pada tafsir jenis ini.
Dr. Quraish Shihab dalam salah satu tulisannya di jurnal Paramadina menambahkan secara rinci akan kelemahan metode penafsiran riwayat ini; “Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini adalah: (a) Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan-pokok Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu. (b) Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya. Bahwa mereka mengandalkan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya adalah wajar. Karena, di samping penguasaan dan rasa bahasa mereka masih baik, juga karena mereka ingin membuktikan kemukjizatan Al-Quran dari segi bahasanya.
Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemukjizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena –jangankan kita di Indonesia ini– orang-orang Arab sendiri sudah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa itu.” Tafsir jenis ini banyak sekali, di mulai dari Tafsir Ibnu Abbas, At-Thabari, As-Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir dan lain sebagainya.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam deretan tafsir ma'tsur, antara lain adalah : Jami' al-Bayan oleh Ibn Jarir al-Thabary (310 H); Ma'alim al-Tanzil oleh al-Baghawy (516 H); Tafsir al-Qur'an al-'Azhim oleh Ibn Katsir (744 H) dan al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma'tsur oleh al-Suyuti (911 H).
Penulis beropini bahwa penggunaan metode ini amatlah perlu karena periwayatan dari Nabi yang sahihn sanadnya adalah landasan hokum bagi umat Islam sedangkan periwayatan dari orang-orang terdahulu (manusia setelahnya hingga akhir masa salaf) merupakan hal perbandingan yang perlu kita jadikan I’tibar karena hal itu tidak mutlak kesalahannya.
2. Al-Tafsir bi al-ra'y.
Tafsir ra'y adalah tafsir ayat-ayat al-Qur'an yang didasarkan ijtihad mufassir dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya.
Ternukil dalam riwayat bahwa ketika Abdullah bin Mas'ud diperintah oleh Nabi untuk menyampaikan dan mengajarkan ajaran Islam di suatu daerah, Rasul bersabda kepada Mu’adz : " Dengan apa kamu memberi hukum? ","Dengan Kitabullah" Mu’adz menjawab, Rasul melanjutkan " Jika engkau tidak mendapatkannya di dalamnya?", Mu’adz kembali menjawab " Dengan sunnah Rasulmu", " Jika engkau tidak mendapatkannya di dalamnya?",sabda Rasul, " Dengan ijtihadku?" jawab Mu’adz, Rasulullah pun mengizinkan Mu’adz ke tempat itu dengan kebahagian dan kebanggaan kepadanya. Ternukil dalam riwayat bahwa ketika Abdullah bin Mas'ud diperintah oleh Nabi untuk menyampaikan dan mengajarkan ajaran Islam di suatu daerah, Rasul bersabda kepada Mu’adz : " Dengan apa kamu memberi hukum? ","Dengan Kitabullah" Mu’adz menjawab, Rasul melanjutkan " Jika engkau tidak mendapatkannya di dalamnya?", Mu’adz kembali menjawab " Dengan sunnah Rasulmu", " Jika engkau tidak mendapatkannya di dalamnya?",sabda Rasul, " Dengan ijtihadku?" jawab Mu’adz, Rasulullah pun mengizinkan Mu’adz ke tempat itu dengan kebahagian dan kebanggaan kepadanya.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba'Al-Azhim: "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."25
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal."26
Ditambahkan pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: (a) Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Quran di bidang ini. (b) Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tecermin dalam penafsiran mereka. (c) Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu. (d) Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. (e) Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. (f) Bermula pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.27
Problematika penafsiran al-Qur’an dengan metode riwayat hampir sebagian besar berangkat dari “ketidakajegan” para mufasir dalam menyampaikan maksud-maksud tersirat di balik teks-teks Ilahiyah. Dalam ranah metodologikal, para penafsir nalar mencoba menggunakan pelbagai macam perangkat tafsir yang disesuaikan dengan kecenderungan mereka masing-masing dalam disiplin ilmu tertentu untuk berusaha menjawab segala problematika kehidupan dan kegelisahan intelektual mereka akan stagnasinya kajian tafsir bi al-ma’tsur. 28
Di antara mereka ada yang memusatkan analisis tafsir atas al-Qur’an melalui metodologi spesifik disiplin keilmuan, seperti gramatika (an-Nahwu), al-Balâghah, I’jâz, fiqh, filsafat dan cabang disiplin keilmuan lainnya. Sebagai contoh kitab al-Kasysyâf racikan az-Zamakhsyari al-Khawarizmi yang menyusun bangunan tafsirnya di atas epistema ilmu balaghâh dan kalam, Fakhruddin al-Razi mampu menelurkan tafsîr Mafâtihu al-Ghâib yang diciptakan atas dasar ilmu filsafat yang dikuasainya. Tafsîr al-Jâmi’ li ahkâmi al-Qur’ân berhasil digagas al-Qurthubi yang ditilik dari sudut pandang fikih dan hukum-hukum agama serta beberapa form tafsir lain yang dicoba dituangkan oleh segelintir intelektual muslim lainnya.29
Corak dan pola tafsir ala nalar ini banyak sekali disebutkan dalam semua karya kodifikasi ilmu-ilmu Qur’an dan tafsir. Bertolak dari ini, penulis secara pribadi mengikuti pendapat al-Farmawi bahwa corak ini terbagi menjadi empat pendekatan metodologi, yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran dan mawdhu’iy.
Dalam buku Tafsîr al-Qur’ân al- Karîm baina al-Quddâmi wa al-Muhadditsîn, Jamal al-Banna menjelaskan menjelaskan secara detail satu persatu tafsir ala nalar yang dikarang oleh para intelektual muslim yang hidup pada abad 20. Sebut saja Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dengan al-Manârnya, Thahir bin ‘Asyur dengan at-Tahrir wa at-Tanwîrnya, ataupun Syeikh Mutawalli al-Sya’rawi dengan tafsir al-Sya’rawinya. Terhadap al-Manar, Jamal memberikan komentar bahwa tafsir ini memiliki nilai sosial budaya, bisa dibilang kalau kita merunut sejarah, bahwa Abduh diyakini pernah mengaji tafsir dengan sang guru Jamaluddin al-Afghani.30
Satu hal yang dapat penulis pahami adalah kemungkinan mengalirnya jiwa reforrmis dalam diri Abduh akibat pengajaran dan penanaman doktrin-doktrin akan pembaharuan umat serta ketegasan sang guru bahwa Islam pada dasarnya terbuka akan perubahan dan perkembangan zaman. Tafsir ini bermula dari tulisan-tulisan tafsir al-Qur’an Muhammad Abduh dalam jurnal yang diterbitkannya al-Manar, kemudian dialih bukukan dan diteruskan proyek besar ini oleh sang murid tercinta Rasyid Ridha. Disamping itu, Jamal juga memberi kritikan yang cukup panjang akan fenomena israillîyyat dalam tafsir al-Sya’rawi. Fenomena yang banyak sekali ditemukan dalam tafsir-tafsir riwayat karya ulama salaf. Satu hal yang dapat penulis pahami dan maklumi adalah proses pembuatan kitab itu sendiri tidaklah murni hasil tulisan sang syeikh, tetapi hasil copy paste dari setiap pengajian beliau Nûr ‘ala al-Nûr yang disiarkan ditelevisi dan radio hampir setiap hari. Dari situ kemudian muncul inisiatif untuk membukukan hasil pengajian beliau ini.
Penulis berasumsi setelah menyatakan hal tersebut bahwa Metode ini amatlah penting pada masa kontompoler ini agar masalah-masalah seputar agama kita perlahan tapi pasti akan terjawab.Tentunya, setelah melewati penyeleksian syarat-syarat maqbul-nya
Para ulama telah menetapkan syarat-syarat bagi diterimanya tafsir ra'y, yaitu bahwa penafsirannya :
a. Benar-benar menguasai bahasa Arab dengan segala seluk beluknya
b. Mengetahui sebab nuzul, nasikh dan mansikh, ilmu qiraat dan syarat keilmuan
ainlnya.
c. Tidak meginterpretasikan hal – hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk
mengetahuinya.
d. Tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu dan interes pribadi.
e. Tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas batil dengan
maksud, justifikasi terhadap paham tersebut.
f. Tidak menganggap bahwa tafsirnya itu adalah yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa
argumentasi yang pasti.31
Tafsir ra'y yang tertolak karena tidak memenuhi kriteria diatas disebut al-Tafsir al-Ra'y al-Madzmumah dan yang memenuhi kriteria disebut al-Tafsir al-Ra'y al-Mahmudah. Kini muncul kelompok orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan dominasi rasio yang biasa dikenal dengan sebutan kelompok rasional liberal. Mereka menggunakan tiga pendekatan yakni tafsir Metaforis, tafsir Hermenetika dan pendekatan sosial kesejarahan.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk jenis tafsir ra'y adalah Mafatih al-Ghayb oleh al-fakh al-Razy (606 H), Anwar al-Tanzil wa asrar al-Ta'wil oleh al-Baydhawy (691 H), madarik al-Tanzil wa haqaiq al-Ta'wil oleh al-Nasfy (701 H) Irsyad al-'Aql al-Salim Ila Mazaya al-Kitab al-Karim oleh abu Su-ud (982 H) dan lain-lain.
Salah satu kitab tafsir bi al-Ra’y yang diterima adalah Mafatih al-Ghayb oleh al-fakh al-Razy. Kitab ini berbicara tentang falak, buruj, langit, bumi, hewan, tumbuhan dan anggota tubuh manusia dengan pembahasan yang luas, dengan tujuan dapat membuktikan kebenaran, menegakkan pendapat-pendapat atas kewujudan Allah dan membantah orang-orang yang menyeleweng dan sesat. Inilah alasan mengapa kitab ini tergolong dalam kitab birro'y Al-Maqbul.
Kitab ini banyak berbicara tentang hubungan ayat Al-Qur'an dengan ilmu kalam, filsafat dan ilmu aqliyah ( fisika, biologi dan astronomi ). Ayat-ayat kauniyah dalam penafsirannya sungguh ditafsirkan secara rinci, detail dan ilmiah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada tanpa menyalahi sunnahtullah dalam hubungannya dengan alam semesta dan sebab-akibat sehingga membuat keimanan para pembaca kian menebal dan bukti atas keberadaan Allah kian jelas.
Kitab ini mampu menyanggah atas tuduhan-tuduhan orang yang inkar dan keras hati dengan argumen yang mematikan, mampu membantah pendapat Mu'tazilah dan aliran-aliran sesat dengan hujjah yang kuat32 dan ilmiah, mampu melukiskan hubungan antara kekuasaan Allah dengan alam semesta, sanggup memberi bukti keberadan Allah ta'alaa dan menjadi rujukan utama dalam kitab tafsir dirayah dan filsafat setelahnya.
3. Dilema Seputar Keduanya
Ketika Ibrahim Hosen berbicara tentang ta'aqquli dan ta'abbudi, dan ketika Rahman mengulas pemikiran modernis dan fundamentalis, keduanya menggaungkan kembali perbedaan pendapat para sahabat tentang sunnah Rasullah saw. Apakah Nabi Muhammad saw berijtihad? Banyak para sahabat membagi perintah-perintah Nabi ke dalam dua bagian. Yaitu yang berhubungan dengan ibadah ritual (kelak disebut huquq Allah) dan yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial (kelak disebut huquq al-'ibad). Mereka menerima yang pertama secara ta'abbudi, dan yang kedua secara ta'aqquli. Pada bagian kedua, Rasulullah saw sering berijtihad; ijtihadnya boleh jadi benar atau salah. Karena itu, di sini para sahabat tidak merasa terikat dengan sunnah. Bukankah Nabi mengatakan, "Kamu lebihtahu urusan duniamu?" Bukhari meriwayatkan peristiwa yang oleh Ibn 'Abbas disebut sebagai "tragedi hari Kamis". Dalam keadaan sakit, Nabi menyuruh sahabatnya mengambil dawat dan pena untuk menuliskan wasiatnya. "Dengan ini kalian tidak akan sesat selamanya"' kata Nabi. Umar berkata, "Nabi saw dalam keadaan sakit parah. Di tangan kalian ada kitab Allah. Cukuplah buat kita kitab Allah itu." Tampaknya Umar berpendapat bahwa kondisi sakit Nabi melahirkan ijtihad Nabi yang tidak perlu diikuti. Para ahli hadits meriwayatkan berbagai peristiwa ketika ijtihad Nabi berbeda dengan ijtihad 'Umar; dan Allahmembenarkan ijtihad 'Umar. Nabi menginginkan agar para tawanan Badar dibebaskan dengan tebusan, sedangkan 'Umar mengusulkan untuk membunuh mereka. Nabi hendak menshalatkan 'Abdullah ibn Ubayy, tapi Umar melarangnya. Dalam kasus-kasus ini, wahyu selalu turun membenarkan Umar. Diriwayatkan bahwa Nabi saw, disertai Abu Bakar pernah menangis terisak-isak menyesali kekeliruan ijtihadnya. 'Umar bertanya: "Apa yang menyebabkan Anda dan sahabat Anda menangis? Kalau ada sesuatu yang patut aku tangisi, aku akan menangis. Kalau tidak ada tangisan, aku akan berupaya menangis seperti tangisan Anda." Nabi kemudian menceritakan tentang wahyu yang membenarkan Umar dan menyalahkan Nabi. "Seandainya azab turun," kata Nabi, "tidak akan ada yang selamat kecuali Umar ibn Khaththab." Hadits-hadits di atas --walaupun keabsahannya harus kitateliti secara kritis-- merupakan justifikasi terhadap peluang menggunakan ra'yu dalam menghadapi sunnah (yang berasal dari Ijtihad Nabi). Ketika Abu Bakar dan Umar meninggalkan pasukan Usamah, padahal Nabi memerintahkan mereka untuk berada didalamnya, Ibn Abi al-Hadid membenarkan kedua sahabat itu. "Sesungguhnya Nabi saw mengirimkan pasukan itu berdasarkan Ijtihad dan bukan berdasarkan wahyu yang diharamkan membantahnya." Karena Umar adalah primadona dari kelompok pertama para sahabat ini, kemudian kita pun menyebut madzhab pemikiran mereka sebagai madzhab Umari. Sebagai lawan mereka --dalam pemikiran-- adalah madzhab Alawi, yang terdiri atas sahabat-sahabat yang berkumpul di sekitar Ali ibn Abi Thalib. Mereka tidak membedakan huquq al-'ibad dan huquq Allah dalam instruksi-instruksi Nabi yang bernilai tasyri'. Tidak ada ijtihad Nabi. "Ia tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, tetapi ia hanya berbicara berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya." (QS 53:3). Ketika Umar dan Utsman --pada zamannya masing-masing melarang haji tamattu" Ali menentangnya. Ibn Katsir, dalam kitab tarikhnya, menulis: "Para sahabat r.a. sangat takut kepada Umar dan tidak menemukan orang yang melawan pendapat Umar kecuali Ali ibn Abi Thalib, yang berkata: "Barang siapa melakukan tamattu', ia sudah menjalankan kitab Allah dan sunnah NabiNya." Ketika Ali menegur Utsman yang melarang tamattu', Utsman berkata: "Aku tidak melarangnya. Ini hanyalah ra'yu yang aku pegang. Kalau orang mau, silakan ambil ra'yu-ku. Kalau tidak, tinggalkan saja." Umar juga diriwayatkan berkata: "Inilah ra'yu Umar. Kalau benar, dari Allah dan kalau salah, dari Umar." Abdullah ibn Mas'ud berkata seperti itu juga: "Aku mengatakan ini dengan ra'yuku. Bila benar, ia berasal dari Allah dan bila salah ia berasal dari setan. Allah dan Rasul-Nya terlepas darinya." Para tabi'in dari Kufah kelak berguru kepada Abdullah ibn Mas'ud, sehingga lahirlah mazhab Kufah yang menitik-beratkan Fiqh al-ra'y. Sementera itu, Ali tetap tinggal di Madinah, sebelum ia memindahkan ibu kota ke Kufah pada masa kekhalifahannya. Ketika Utsman melarang menggabungkan hajidengan 'umrah, ia menegur Ali: "Kau lakukan itu padahal aku melarangnya?" Ali menjawab: "Aku tidak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw karena (ra'yu) salah seorang manusia." Kita pun kemudian mengetahui bahwa di Madinah, daerah Hijaz, berkembanglah madzhab Hijaz, yang menekankan Fiqh al-atsar. Fiqh al-ra'y makin diperteguh dengan kecenderungan umum madzhab Umari untuk mengabaikan penulisan hadits. 'Aisyah melaporkan: "Ayahku telah mengumpulkan 500 hadits Nabi saw. Pada suatu pagi, ia datang menemuiku dan berkata, "ambilkan hadits-hadits yang ada padamu." Lalu saya berikan kepadanya. Ia membakarnya dan berkata: "Saya khawatir, saya mati, dan meninggalkan hadits-hadits itu padamu." Abu Bakar juga pernah mengumpulkan orang setelah Nabi wafat, dan berkata: "Kalian meriwayatkan dari Rasulullah saw. hadits-hadits yang kalian perselisihkan. Nanti, manusia sesudahmu akan lebih daripada itu. Janganlah meriwayatkan sesuatu pun dari Rasulullah saw. Bila ada yang bertanya kepada kalian, jawablah: "Di antara Anda dan kami ada Kitab Allah, halalkan yang halal dan haramkan yang haram.". Walaupun begitu, periwayatan haditstetap berlangsung sampai zaman Umar. Umar menyuruh mengumpulkan hadits- hadits itu dan memerintahkan untuk membakarnya. Alasan Umar: "Aku khawatir hadits-hadits itu akan memalingkan orang dari Kitab Allah." 33 Tradisi pengabaian penulisan hadits --dan sekaligus pembakarannya-- dilanjutkan oleh tabi'in. Rasul Ja'farian menyebutkan nama-nama ulama tabi'in yang melarang penulisan hadits, yaitu, Abu Burdah, Ashim, Abu Sa'id, Sa'id ibn Jubair, Ibrahim al-Nakha'i, dan lain-lain. Al-Hasan ibn Abi al-Hasan --menjelang kematiannya-- memerintahkan pembantunya untuk menyalakan api pembakaran. Ke dalamnya, ia lemparkan semua tulisan, kecuali satu buku saja. Akibatnya, khusus di kalangan ahl al-Sunnah, penulisan hadits terlambat sekitar dua abad. Konon, yang pertama kali melakukan tadwin hadits adalah Ibn Syihab al-Zahri atas perintah Umar ibn Abd al-Aziz. Sejarah singkat madzhab 'Umari ini menunjukkan tiga ciri khasnya: (1) madzhab ini memusatkan perhatian utamanya --dan seringkali dengan mengabaikan yang lain-- kepada al-Qur'an. "Hasbuna Kitab Allah," kata Umar; (2) madzhab ini mengutamakan ra'yu ketimbang al-Sunnah; dan (3) madzhab ini menekankan aspek maqashid syar'iyyah atau kemaslahatan umat untuk menetapkan hukum, dan kurang terikat pada zhawahir (makna tekstual) dan nash. Untuk menangkis tuduhan bahwa Umar sering meninggalkan nash-nash al-Qur'an secara sengaja, Abu Zahrah menulis: "Tidak seorang sahabat pun meninggalkan nash demi ra'yunya atau kemaslahatan yang dipandangnya. Sesungguhnya maslahat yang difatwakan sahabat tidak bertentangan dengan nash, tetapi mengaplikasikan nash secara baik, berdasarkan pemahaman yang benar akan maksud-maksud syara'. Di kalangan madzhab-madzhab ahl al-Sunnah, fiqh al-ra'y dan fiqh al-atsar ini tidak terpilah tegas, tetapi membentuk kontinum. Madzhab-madzhab itu berbeda dalam intensitas penggunaan nash dan ra'yu. Ali Yafie melukiskannya sebagai lingkaran-lingkaran: "Lingkaran paling dalam (pertama) merupakan kelompok yang paling sedikit menggunakan ra'yunya. Prinsip mereka dalam pengambilan hukum, tak memperkenankan penggunaan akal. Kaidah mereka: la ra'yu fi al-din (tidak ada tempat rasio dalam agama). Madzhab yang menggunakan kaidah semacam ini disebut madzhab al-Zhahiri, karena diprakarsai Dawud al-Zhahiri yang dilanjutkan Ibn Hazm dalam kitabnya al-Muhalla. Disadari atau tidak, madzhab ini sebenarnya juga menggunakan rasio. Hanya intensitas penggunaannya sangat sedikit.34 Penulis berkomentar bahwa intinya, bukannya menyalahi mafhum nash bahkan mengingkarinya melainkan penggunaan tathbiq ( penerapan) nash yang bertujuan mengangkat dan mengutamakan maslahat umat sesuai dengan keadaan rakyat ketika itu dan jika terjadi pertentangan hendaklah disikapi bijak berupa mengambil benag tengah keduanya atau kesamaan yang dapat menghubungkannya. Akhiran, Metode tafsir yang menggabungkan kedua metode tersebut merupakan harapan khalayak umat. Dalam artian, berusaha untuk membuatt suatu tafsir dengan mengkoherensifkan keduanya seraya meminimalisir kelemahan masing-masing dan meningkatkan mutu kualitas serta keistimawaan keduanya. Sehingga, terciptanya tafsir yang men-zaman sesuai dengan kebutuhan umat banyak..
1 Baca : Metodologi Penafsiran al-Qur’an oleh Mukhlis Yusuf Arbi’
2 Isolasi al-Quran dari Masa ke Masa Oleh Utsman Hasib
3 Manna' Al-Qattan, mabahits fi ulumi Al- Qur'an, riyad, mansyurat Al-'Ash Al-Hadits,1973, H.20
4 Ditinjau dari sudut ilmiah manusia, maka al-Qur'an adalah kitab yang paling tidak sistematis. Akan tetapi justru dalam ketidak sistematisannya itulah terletak keistimewaan al-Qur'an. Rasyid Rida mengatakan bahwa jika sekiranya al-Qur'an disusun menurut bab dan fasal secara sistematis; seperti yang terdapat dalam buku-buku ilmu pengetahuan, maka al-Qur'an sudah lama menjadi usang dan ketinggalan zaman. Justru dalam sistematiknya yang unik itulah terletak kekuatan al-Qur'anِ Lihat: Al-Wahy al-Muhammady, (Kairo: Mak tabat al-Qahiriyah;1960 M/1380 H),pp107-108
5 Isolasi al-Quran dari Masa ke Masa Oleh Utsman Hasib
6 Paradigma Tafsir Dakwah dengan Pendekatan Konseling Oleh : Drs. H. Imam Sayuti Farid, SH
7 Bandingkan: Ahmad al-Syarbashy, Qissat al-Tafsir , ( kairo: Dar al-Kalam 1962) pp. 39-41
8 Lihat:QS.al-Baqarah/2:2,97,185;Ali Imran/3: 138,3, dll.
9 Lihat: QS. al-A'raf/7:51,203; Yunus/10:57; Yusuf/12:14,dll.
10 Manna' al-Qattan, Mabahis Fi 'Ulum al- Qur'an al-Dar al-Su'udiyyah Li al-Nasyr, mekah. p. 182
11 Isolasi al-Quran dari Masa ke Masa Oleh Utsman Hasib
12 Lihat : Tafsir al-Shahaabat oleh Su’ud Badr
13 Membumikan al-Qur’an oleh Quraish Shihab
14 ibid. Hal. 9
15 H.R Syaikhani dan lainnya, dari Ibnu mas'ud
16 Dikeluarkan oleh abu ubaidah dari jalur mujahid
17 Depag, Ilmu Al-Qur'an, jilid III, 2001, Hal. 78
18 Lihat: Muhammad Abd al-azim al-Zarqani, Manahil al 'Irfan Fi 'Ulum al-Quran, I
19 Disampaikan al-Dzahaby, al-Tafsir, I, p.94.
20 ibid, p. 128.
21 Manna' al-Qattan, Mabahits,pp.182-183.
22 Lihat : QS. Al-Nahl/16:44
23 Lihat : Muhammad Husain al-Tabataba'I al-Qur'an Fi al-Islam, terjemahan A. Malik Madani
24 Ibid, lihat juga: al-Subhi al-Salih, mabahits, p.291.
25 'Abd Allah Darraz, Al-Naba' Al-Azhim, Dar Al-'Urubah, Mesir, 1960, h. 111.
26 Lihat makalah Martin van Bruinessen, "Mohammed Arkoun tentang Al-Quran," disampaikan dalam diskusi Yayasan Empati. Pada h. 2. ia mengutip Mohammed Arkoun, "Algeria," dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington: Indiana University Press, 1988, h. 182-183.
27 Membumikan al-Qur’an oleh Quraish Shihab
28 Baca : Metodologi Penafsiran al-Qur’an oleh Mukhlis Yusuf Arbi’
29 Membumikan al-Qur’an oleh Quraish Shihab
30 Tafsîr al-Qur’ân al- Karîm baina al-Quddâmi wa al-Muhadditsîn, Jamal al-Banna
31 al-Dzahaby, al-Tafsir, I, p. 275.
Al-Shabuny, At-Tibyan, Al-ma'arif, Bandung, 1996,hal. 263-264.
33 Baca : Kegagalan Skripturalisme oleh Jalaluddin Rakhmat
34 ibid,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar