Rabu, 10 Juni 2009

I’jaz al-Qur’an

I’jaz al-Qur’an

A.) Pengertian I’jaz al-Qur’an

Kata “I’jaz” dalam bahasa arab mengandung arti melemahkan yang lain. Dalam waktu yang sama, ia melemahkan yang lain karena yang lainnya itu tak mampu menandingi dahsyatnya kekuatan yang ia miliki.

Dinamakan Mu’jizat ( melemahkan ) karena manusia lemah dan tak mampu untuk mendatangkan yang serupa apalagi yang lebih baik darinya, sebab mu;jizat merupakan hal yang aneh, asing, bertentangan dengan kebiasaan manusia. Dengan kata lain keluar dari factor-faktor yang telah lazim diketahui oleh manusia.

Mu’jizat didefinisikan oleh pakar ulama islam antara lain ; ”suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang nabi , sebagai bukti kenabian dan kebenaran ajaran yang dibawanya”.

Padahal, nabi tersebut menentang kaumnya - untuk mendatangkan hal serupa jika mereka tak mempercainya dan apa yang ia sampaikan kepada mereka – tapi mereka tak sanggup membuat hal serupa.

Begitu pula I’jaz al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW menentang musyrikin untuk mendatangkan hal serupa dengan al-Qur’an bila mereka ragu dan ingkar terhadap kebenaran al-Qur’an dan ajaran Muhammad SAW.Mereka pun tak mampu membuat hal serupa dengan al-Qur’an walaupun sesurah, padahal mereka ahli dan pakar dalam bidang sastra, fashahah, balaghah bahasa arab.

B.) Tujuan dan fungsi mu’jizat al-Qur’an

Mu’jizat al-Qur’an berfungsi sebagai bukti kebenaran nabi dan bukti kebenaran al-Qur’an itu sendiri. Kemu’jizatan al-Qur’an digambarkan (diilustrasikan) sebagai ucapan ilahi: ” Apa yang dikatakan oleh Muhammad SAW adalah benar. Dia adalah utusanku, buktinya adalah aku melakukan mu’jizat itu ”.

Mu’jizat walaupun dari segi bahasa bermakna melemahkan tapi itu bukan merupakn tujuan utama. Melainkan, untuk membuktikan kebenaran agama ilahi yang dibawa oleh muhammad SAW.

Bagi yang telah percaya kepada Sang Nabi, ia tidak membutuhkan mu’jizat atau melemahkan. Tapi, berfubgsi memperkuat keimanan serta menambah keyakinan mereka terhadap kekuasan, kemuliaan, keagungan dan kebesara Allah SWT.

Walaupun Muhammad SAW hanya manusia biasa seperti khalayak manusia lainnya, dengan i’jaz al-Qur’an Allah mengisyaratkan umat manusia atas kebenaran al-Qur’anyang dibawa oleh muhammad SAW dengan menunjukkan kejadian-kejadian luar biasa yang sulit dijangkau oleh akal.

I’jaz al-Qur’an berisi pula pedoman-pedoman hidup dalam beragama dan bersosial yang bersifat obyektif dan tak berpihak pada oknumdan orgensi seperti pedoman lainnya selain al-Qur’an ( undang-undang yang dibuat oleh manusia ) bersifat kurang obyektif bahkan ada yang sangat subyektif serta memilkiki urgensi-urgensi tertentu dari pihak tertentu dan merugikan pihak yang satu dalam waktu yang bersamaan menguntungkan pihak lainnya.

Al-Qur’an dengan mu’jizatnya membawa resep yang mengutamakan mashlahat umat tidak mengandung kebutuhan ilahi yang menciptakan al-Qur’an tiada lain agar umat manusia hidup dalam ketentraman, keamanan, keharmonisan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

C.) Unifikasi mu’jizat al-Qur’an

Tiada keraguan bahwa al-Qur’an merupakan kitab tersempurna dan terlengkap dibanding kitab-kitab samawyah lainnya seperti zabur yang dibawa oleh Daud As., taurat oleh Musa As., shuhuf Ibrahim As, maupun injil oleh Isa A.S.,dll.

Kitab-kitab samawyah lainnya bukanlah mu’jizat seperti halnya al-Qur’an. al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab yang merangkap sebagai mu’jizat buktinya al-Qur’an ini terjaga dan terjamin tidak akan mengalami perubahan serta. al-Qur’an pula mengandung nash-nash dan hukum-hukum yang diberlakukan hingga akhir masa.

Kitab-kitab samawyah lainnya terbukti bukan mu’jizat karena tidak memiliki dua hal tersebut yaitu Kitab-kitab samawyah tersebut mengalami perubahan dan nash-nash dan hukum-hukum tidak berlaku hingga yaumul qiyamah.

Jika Kitab-kitab samawyah lainnya diturunkan hanya melalui satu tahap saja yaitu secara jumlatan wahidatan dari bait al-Izzah langsung ke bumi, maka al-Qur’an turun melalui dua tahap.

Pertama, secara jumlatan wahidatan dari bait al-Izzah ke samai dunya. Kedua,secara munajjaman atau bertahap dari samai dunya ke bumi kurang dari 23 tahun.

Dua tahap yang dialami oleh al-Qur’an sangatlah memiliki faedah yang melimpah bagi umat islam maupun manusia diantaranya memudahkan pemahaman dan penghafalan untuk umat islam pada umumnya para sahabat para khususnya, menguatkan keimanan nabi dan memberi motivasi kepada nabi ketika sedih dan masih banyak lagi lainnya.

Tidak sama dengan Kitab-kitab samawyah lainnya, al-Qur’an berfungsi menasakh kandungan kitab-kitab sebelumnya , salah satu contohnya, jika pakaian umat terdahulu terkena najis maka bagi mereka merobek bagian yang terkena najis. al-Qur’an datang menasakh hukum tersebut dan menggantinya dengan cukup mencucinya dengan air hingga bersih lagi suci.

Belum lagi dari aspek bahasa, Kitab-kitab samawyah lainnya tidak mengandung nilai uslub dan sastra yang tinggi lagi menjulang seperti halnya al-Qur’an yang bershighah dan berfashahah yang indah lagi menawan.

Kearifan munasabah, fawasil yang menarik hati, contant kandungan yang bermakna tersurat lagi tersirat, huruf-huruf fawatih ( alif lam mim,dll ) yang masih mengandung makna rahasia dan diturunkannya dalam 7 huruf merupakan kelebihan dan keistimewaan al-Qur’an disbanding kitab-kitab lainnya.

D.) Teori al-Sharfah dalam wacana kemu’jizatan al-Qur’an

Sebagian golongan Mu’tazilah diantaranya abu ishak an-Nazham berpendapat bahwa kemu’jizatan al-Qur’an merupakan sebab sharfah ( perubahan / memalingkan ) artinya bahwa Allah memalingkan manusia untuk menantang al-Qur’an padahal Ia mampu memberi kekuatan kepada manusia untuk dapat menandingi al-Qur’an .

Seorang tokoh sastra Arab, Mustafa ar-Rafi’i berkata bahwa adanya kemu’jizan al-Qur’an disebabkan sharfah / memalingkan , yaitu Allah memalingkan orang-orang arab dari menentang al-Qur’an padahal mereka mampu , maka pemalingan inilah yang berlawanan adat.

Iman Murhadha dari golongan syi’ah beropini bahwa Allah mencabut ilmu-ilmu yang dibutuhkan manusia dalam menentang al-Qur’an sehingga manusia tak dapat menandingi al-Qur’an.

Bantahan dari teori as-sharfah adalah sifat ilahi yang tidak pernah menzhalimi hamba-nya, dalam hadist qudsi Allah berfirman :

“ saya haramkan kezhaliman pada diriku, olehnya itu kuharamkan pula kalian untuk berlaku zhalim “

Allah tidak pernah menzhalimi Hambanya. Karena memalingkan termasuk kezhaliman, maka Allah pun tak pernah menzhalimi Hambanya, salahlah teoti as-sharfah berdasar dalil naqly ini.

Dalil Aqly-nya yaitu teori The Big and Small Baloon[*]


A B

Diatas terdapat dua balon (a) balon kecil dan (b) balon besar . Jika 1/5 isi balon (b) dipindahkan kedalam balon (a) maka balon tersebut akan meledak / rusak, apalagi kalau keseluruhannya .Begitu pula kalau Allah memberi kemampuan kepada manusia diatas kapasitas dirinya ataukah melampai kemapuan akalnya maka manusia akan rusak minimal gila.

Bagaimana kalau keduanya sama besar, maka bantahannya ” apakah ada manusia sanggup membuat manusia lain dengan sendirinya ( membuat makhluk lain yang sama kapasitas dan kualitas dengan dirinya ).wallahu a’lam bishshawab



[*] Maaf, ini hanya teori buatan penulis

علوم القرآن

تعريف علوم القرآن وأسمائه وفرقه بين الحديث

"علوم" جمع من "علم" والجمع يدل على كثيرثلاثة فصاعد. وهي تختلف عن القاعد الإنجليزية(plural ) يدل على إثنين فصاعد. "علوم" تضاف إلى " القرآن" هذا يسمّى " النسبة الإضافية "." القرآن" من قرأ: الجمع والضمّ, والقراءة :ضم الحروف والكلمات بعضها إلى بعض فى الترتيل. و القرآن فى الأصل كالقراءة على وزن " فعلان" بالضم كالغفران والشكران, سمّى به المقروء تسمية للمفعول بالمصدارقال الله تعالى: إن علينا جمعه وقرآنه, فإذا قرأناه فاتبع فرآنه( القيامة:18-19).قيل:من قرن الشئ بالشئ إذا ضمنه إليه,اومن القرائن لأن آياته يشبه بعضها بعضا فالنون أصلية وغير مهموزالأصل فى الإشتقاق. واصطلاحا : علم يبحث عن القرآن من حيث المعنى, وما يتعلق بالإستنباط من مدلول القرآن.

القرآن

الحديث القدسى

الحديث النبوى

كلام الله لفظا ومعنا

كلام الله معنا ولفظا من محمد

كلام الله معنا ولفظا من محمد

تحدى الله به العرب

لم يتحدى الله

لم يتحدى الله

متعبد بتلاوته

ليس متعبد بتلاوته

ليس متعبد بتلاوته

متواتر كله

بعضه متواتر

بعضه متواتر

قطعى ثبوتى

ظنى ثبوتى

ظنى ثبوتى

يضاف إلى الله

يضاف إلى الله

يضاف إلى النبى

Tafsir Al-Tastariy Sebagai Tafsir Isyāriy

Tafsir Al-Tastariy Sebagai Tafsir Isyāriy

Tafsir isyāriy merupakan salah satu metode tafsir shufiy yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur'ān dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya.[1]

Tafsir isyāriy merupakan tafsir shufiy praktis bukan tafsir shufiy teoritis - sebagaimana jenis tafsir shufiy lainnya - . Tafsir Isyāriy merupakan tafsir berdasarkan dzauq bukan fikr. Olehnya, secara sepintas tafsir ini merupakan tafsir yang irrasional tapi hal itu belum tentu memastikan ketidakhujjahannya sebagai sumber khazanah tafsir dan intelektual bagi umat Islam karena tafsir ini telah diperoleh oleh shohibnya melalui pengalaman ritual-spritual dalam perjalannya mencari kebenaran dan pendekatan kepada Sang Kekasih, Allah ta’ālā.

Melindungi kemurnian dan kevalidan ajaran Islam jauh lebih penting sekedar langsung menerima segala informasi yang diperoleh shohibnya. Untuk itu, penentuan kriteria-kriteria penerimaannya sebagai hujjah perlu ditentukan, adapun kriteria yang dimaksudkan adalah sebagai berikut 1) Tidak bertentangan dengan lahir ayat. 2) Mempunyai dasar rujukan dari ajaran agama yang sekaligus berfungsi sebagai penguaatnya. 3) Tidak bertentangan dengan ajaran agama atau akal. 4) Tidak menganggap bahwa penafsiran itulah yang paling benar dan dikehendaki oleh Allah [2].

Tafsir al-Qur’ān al-’Azhīm, tafsir al-Tastariy/al-Tustariy (w.283 H), merupakan salah satu jenis tafsir isyāriy. Oleh karena itu, tafsir al-Tastariy seyogyanya memenuhi batasan dari pengertian tersebut dan empat kriteria penerimaannya.

Abu Muhammad Sahl ibn Abdillah ibn Yunus al-Tustari, salah seorang pemuka dan ulama kaum sufi, juga teolog kalam di bidang ilmu keikhlasan, olah jiwa (riyadhat al-nafs) berkata:"Tidak ada jalan yg lebih mendekatkan seorang hamba dengan Tuhannya melebihi rasa butuh kepada Allah." .

Ibn Taymiyah salah satu penggemar al-Tustariy. Yang perlu digaris bawahi adalah, pada tahun 200-300 H merupakan masa keemasan bidang tasawwuf, yang mana al-Tustariy hidup pada masa itu. Adapun penyimpangan, penyelewengan, dan kesesatan dalam tasawuf terjadi pada abad-abad berikutnya.

Kita dapat menyimpulkan dari dua alinea sebelumnya bahwa al-Tustari merupakan salah satu sufi dan adapun tafsir yang beliau karangan merupakan karya pengalaman ritual-spritual beliau dalam suluknya. Mengenai apakah jenis tasawwuf yang diperpeganginya termasuk sesat atau tidak maka hal itu dapat dijawab oleh Ibnu Tailiyah berupa kegamumannya terhadap al-Tustariy dan penjelasannya tentang kapan periode keemasan dan penyelewengan tasawwuf..

Memberi contoh kemudian menyesuaikannya apakah sesuai kriteria penerimaan atau tidak merupakan tindakan yang mesti penulis lakukan guna membuktikan secara kongkrik apakah tafsir al-Tustariy merupakan tafsir Isyāriy atau tidak.

Contoh yang penulis gunakan terambil dari web karena tiada tersedianya buku tersebut dala perpustakaan kampus UIN Alauddin. Dalam bentuk terjemahan tafsirnya yang cukup panjang seyogyanya ditelaah dan diteliti bahkan dibaca berulang guna menangkap alur makna dan pesan yang ingin disampaikan

CINTA ALLAH DAN SIDRATUL MUNTAHA

Al-Tustari menggambarkan Sidratul Muntaha sebagai pohon dimana batas-batas pengetahuan semua manusia berakhir [128]. Sahl melanjutkan, “Ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, ini berarti bahwa Sidrah Nur Muhammad SAW dalam pengabdiannya, seperti anai-anai emas al-Haqq mengirimnya keluar sebagai mukjizat dari sirr-Nya. Semuanya mengabdi untuk memperbesar dukungan baginya ketika dia dipenuhi mawarid (yang mendekat).”

Dalam penafsirannya, al-Tustari memang menafsirkan makna tersembunyi QS 53:13-17 yang secara langsung sebenarnya menginformasikan kondisi ruhaniah Nabi Muhammad SAW pada saat beliau mengalami Isra & Mi’raj. Yang menarik, penafsiran Sahl al-Tustari dikaitkan dengan penciptaan semua makhluk, sehingga untuk menegaskan Sidratul Muntaha dia menjelaskan pengertian QS 53:13 dengan berkata, “Ini maknanya padanya ketika Allah Azza wa Jalla menciptakannya sebagai cahaya dalam bentuk tiang cahaya (nūran fi ‘amūd al-nūr), ribuan tahun sebelum penciptaan makhluk, dengan tashrīf iman yang menyingkapkan rahasia melalui rahasia. Dia berdiri dihadapan-Nya dengan penghambaan.”

Selanjutnya, untuk QS 15:17, ia menjelaskan kondisi fana Nabi Muhammad SAW dengan berkata “Dia tidak cenderung kepada tanda-tanda dari dirinya sendiri. Malahan dia menyaksikan melalui keuniversalan Tuhannya Yang Maha Tinggi, menyaksikan sifat-sifat yang dimanifestasikan kepadanya dan yang membutuhkan konsistensi (keistiqamahan) dalam tahapan tersebut.”

Selanjutnya al-Tustari menguraikan QS 53:18 sebagai penegasan peran Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir yang menyempurnakan risalah kenabian dan kerasulan, juga menyempurnakan hakikat manusia untuk menuju akhlak mulia yang membedakannya dengan makhluk yang lainnya. Pernyataan ini, menurut Sahl, merujuk pada sifat-sifat yang tampak dari ayat-ayat-Nya. Dia melihat mereka, tetapi ketika melihat mereka, dia tidak dapat melepaskan objek persaksiannya dan tidak terputus dari kedekatan dengan obyek penyembahannya. Penglihatan tersebut hanya bertambah dalam cinta, kerinduan, dan kekuatan. Allah memberinya kekuatan untuk memikul tajalli dan iluminasi sublim. Hal itu merupakan anugerah khusus untuknya diatas seluruh nabi lainnya. Tidakkah engkau melihat bagaimana Musa a.s. jatuh pada manifestasi tersebut? Dalam pengalaman ganda intensitas tersebut, Nabi SAW menerobos batas psikologisnya dalam penyaksian yang berhadap-hadapan dengan tatapan hatinya. Dia berpegang teguh kepada kekuatan ahwal-nya (kondisi ruhaniahnya) serta kemuliaan tingkat maqam-nya (peringkat ruhaninya) [128].

Dalam ayat-ayat sebelumnya, QS 53:8-12, Nabi Muhammad SAW memiliki tingkat keadaan yang menjadi dekat dan lebih dekat lagi sehingga jaraknya sejauh dua busur anak panah bahkan lebih dekat lagi (QS 53:9). Dengan kedekatan yang saling berhadap-hadapan itu, maka respon hatinyapun tidak pernah lepas dari apa yang disaksikannya sebagai persaksian antara Tuhannya dengan ilmu dalam hatinya “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya (QS 53:11)”. “Maka apakah kamu membantahnya atas apa yang telah dilihatnya (QS 53:12)”, yaitu dari kita dan melalui kita (yaitu tuhan merujuk kepada Diri-Nya Sendiri). Ayat ini menegaskan kembali kondisi fana yang dialami Nabi SAW dimana ia masih bisa mencerap suatu citarasa ruhaniah dihadapan Tuhannya yang terwakili oleh Tauhid Allah oleh Allah “Laa Huwa illaa Huwa (dia (Muhammad) bukan Tuhan tetapi tidak lain dari pada-Nya”.

Jadi, kondisi yang dialami Nabi SAW adalah suatu kesadaran ilahiah tertinggi, dimana ia merasa kediriannya menjadi kedirian Tuhan, namun dengan kedekatan yang masih berjarak (QS 53:8-9). Apa yang dia lihat dari diri kita dan melalui kita lebih baik daripada apa yang dia lihat melalui dirinya sendiri. Bisa dikatakan bahwa kondisi ruhaniah Nabi SAW seperti berada di ambang medan rahasia Sirr Al Asrar , ia berada diambang akhir dari singularitas mutlak, alam jabarut terakhir yang mendekati Kegaiban Mutlak Dzat Allah. Dan diambang Kegaiban Mutlak, dihadapan Dzat Allah SWT, maka sebagai makhluk, Nabi Muhammad SAW dikuatkan oleh cahaya awal mula dirinya yaitu unifikasi “Nur Muhammad dan Rahmaatan Lil Aalamin” dalam lingkupan rahmat dan kasih sayang “Basmalah” dan menjadi cermin langsung Rabb Al-Aalamin.

Maka, jika ditinjau dari keempat kriteria penerimaan tafsir shufi kita dapat menyimpulkan bahwa tafsir al-Tustari sungguh termaksud tafsir isyāriy yang diterima karena 1) Tidak bertentangan dengan lahir ayat, penjelasannya tidak melenceng dari makna zahir mufradāt ayat yang ditafsirkannya. 2) Mempunyai dasar rujukan dari ajaran agama yang sekaligus berfungsi sebagai penguaatnya, karena melampirkan riwayat-riwayat. 3) Tidak bertentangan dengan ajaran agama atau akal, tiada satu nteks dari ayat dan hadis Nabi yang bertentangan dengannya. 4) Tidak menganggap bahwa penafsiran itulah yang paling benar dan dikehendaki oleh Allah, jelas ini tidak dilakukan oleh al-Tustari karena beliau merupakan sufi yang rendah hati tapi tetap berwawasan luas.

Demikian dari kami, lebih dan kurangnya mohon dimaklumi dan dimaafkan karena sifat maaf dekat dengan takwa, dan takwa sifat dambaan mukmin.

Sekian...


[1] DR. Abd al-Hay al-Farmawi, al-Bidatyatu Fi al-Tafsir al-Mawdhui, Dirasat Manhajiyyat Maudhuiyyat, Maktabat Jumhuriyyah Misr, Mesir, h.29

[2] Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, 2( t.t.p. Dar al-Muktab al-Hadisah, 1976 M/1396 H) , h. 377

Tafsir Ibn Katsīr Sebagai Tafsir bi al-Ma’tsur

Tafsir Ibn Katsīr Sebagai Tafsir bi al-Ma’tsur

A. Seputar Tafsir bi al-Ma’tsur

Tafsir al-ma'sur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an berdasarkan nash-nash, baik dengan ayat-ayat al-Qur'an sendiri, dengan hadis Nabi, dengan aqwal (perkataan) sahabat maupun dengan aqwal tabi'in.[1]

Dimasukkanya riwayat para tabi'in sebagai bagian dari tafsir ma'tsur memang menimbulkan kontroversi. Para tabi'in dalam memberi penafsiran ayat-ayat al-Qur'an, tidak hanya berdasarkan riwayat yang mereka kutip dari Nabi lewat sahabat, tetapi juga mema sukkan ide-ide dan pemikiran mereka. Dengan kata lain, mereka pun terkadang melakukan ijtihad dalam membe ri interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur'an.[2] Dalam hal yang terakhir inilah timbul pertanyaan, yaitu apakah pandapat para tabi'in itu pantas dikategorikan sebagai tafsir ma'tsur? Kalau pun bisa, sampai dimana tingkat kekuataanya sebagai dasar argumen? Berbeda halnya dengan sahabat-sa habat Nabi yang memang diakui memi liki integritas dan kemungkinan yang paling besar untuk mengetahui penafsiran dari sesuatu ayat berdasarkan petunjuk Nabi.[3] Oleh karena itu,, kalaupun ada diantara sahabat yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an berdasarkan ijtihadnya, maka masih tetap dianggap wajar untuk digolongkan dalam deretan tafsir ma'tsur.

Dalam kaitan ini, menarik untuk disimak ucapan Imam Abu Hanifah,"Apa saja yang berasal dari Rasulullah, maka kita junjung tinggi, dan apa yang datang dari sahabat kita pilih, sedangkan apa yang berasal dari tabi'in maka mereka adalah laki-laki dan kita juga adalah laki-laki."[4]

Tafsir ma'tsur yang paling tinggi peringkatnya adalah tafsir yang berdasarkan ayat-ayat al-Qur'an yang ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat kedua adalah tafsir ayat dengabn hadis. Dibawahnya adalah tafsir ayat dengan aqwal sahabat dan peringkat terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal tabi'in.[5]

Inti dari ma’tsur adalah dominasi riwayah dalam suatu kitab tafsir

Untuk itu tulisan ini akan mengangkat bukti konkret - berupa contoh-contoh yang terdapat dalam kitabnya - yang menunjukkan bahwa Tafsir Ibn Katsir merupakan salah satu kitab tafsir bi al-Ma’tsur, yang memiliki empat kriteria mendasar yang menbedakannya dengan corak-corak lainnya 1) Penafsiran ayat dengan ayat 2) ayat dengan sunnah 3) ayat dengan pandangan sahabat 4) ayat dengan pendapat tabiin. Tentunya keempat pembuktian itu tersebut akan diperkaya dengan pembuktian tentang riwayat-riwayat lain yaitu tentu asbab al-Nuzul karena asbab al-Nuzul juga merupakan suatu periwayatan – tafsir bi al-ma’tsur pula dapat dikatakan tafsir riwayah -.

1. Penafsiran Ayat dengan Ayat

Salah satu contoh dalam surah al-Ikhlas ayat ke-3 ” lam yalid walam yūlad” Ibn Katsir menafsirkan ayat ini dengan ayat lainnya yaitu ”wa qalūt takhadza al-Rahmān waladan subhanahū bal ’bādun mukramūn” dan ayat lainnya ” in da’awu al-Rahmān waladan wa mā yanbaghy li al-Rahmān an yattakhdza walad”[6]. Bahkan ayat ini - m surah al-Ikhlas ayat ke-3 – ditafsirkan oleh sekitar sepuluh ayat

2. Penafsiran Ayat dengan Sunnah

Seperti sebelumnya unsur ini terkait dengan periwayatan, yang merupakan hal yang ditekuni dan dikuasai Imam Ibn Katsīr hingga memnbantunya dalam kritik sanad dan matan. Dalam unsur ini, contoh tafsir Ibn Katsīr banyak mencantumkan riwayat dari Rasul diantaranya tafsiran Rasul tentang makna ”al-maghdūbi ’alaihim wa lā al-Dhālin”[7] seraya menjelaskan bahwa yang dimaksud itu adalah yahudi dan nasrani.[8]

3. Penafsiran Ayat dengan Pandangan Sahabat

Penafsiran dari Ibn Abbas dalam kitab tafsir ini sangat mendominasi diantaranya ketika Allah berfirman ”ya Ayyuha al-lidzina amanu la ta`kulu amwalakum bainakum bi al-Bathil” Ibnu Abbas menafsirkan kata bi al-Bathil seraya berkata bahwa dengan selain dengan jalan yang haq, sehingga makna yangs empurna dari ayat tersebut adalah janganlah memakan harta orang lain selain dengan jalan yang haq

4. Penafsiran Ayat dengan Pendapat Tabiin

rāb” dijelaskan secara bahasa yaitu bermakna tuan tapi ditambahkan ditambahkan dengan pandangan mufassir sebelumnya yaitu pengatur, pelindung dan yang memperbaiki[9]. Adapun contoh tafsiran yang tidak menggunakan penjelasan kata secara bahasa langsung menafsirkan menurut pandangan ulama yaitu penjelasan kata samad menurut Mujahid, Asy-Sya’aby, dll, sebagaimana yang telah disebut sebelumnya

Selain itu contoh periwayat lainnya yang berupa asbab al-Nuzul adalah asbāb al-Nuzūl surah al-Ikhlas amat banyak dan beragam tapi riwayat terpilih adalah bahwa orang yahudi berkata : Uzair itu adalah anak Allah. Nasrani mengatakan bahwa Isa anak Allah. Majuzi mengemukakan bahwa Matahari dan bulan adalah tuhan Kami sedangkan musyrik bersaksi bahwa berhala adalah tuhan kami., maka turunlah surah ini yang menegaskan bahwa Tuhan itu Esa, Allah SWT, tidak beranak dan diperanakkan.[10]

Jadi, melihat kandungan kitab Ibn Katsir berdasarkan uraian singkat diatas dapat disimpulkan bahwa Tafsir Ibn Katsir merupakan Tafsir bi Al-Ma’tsur karena mengandung keempat unsur utama corak tersebut ditambah banyaknya terdapat riwayat asba al-Nuzul. Maka, lengkaplah sudah pembuktian berupa contoh dari keempat unsur utamanya. Demikian



[1] Manna' al-Qattan, Mabahis Fi 'Ulum al- Qur'an al-Dar al-Su'udiyyah Li al-Nasyr, mekah. p. 182

[2] Lihat: Muhammad Abd al-azim al-Zarqani, Manahil al 'Irfan Fi 'Ulum al-Quran, I, (Mesir: 'Isa al-Bab al-Halabi,t.t), p. 481

[3] al-Dzahaby, al-Tafsir, I, p.94.

[4] ibid, p. 128.

[5] Manna' al-Qattan, Mabahits,pp.182-183.

[6] Tafsir Ibn Katsīr, juz 7, h. 413.

[7] Q.S. al-Fatihah (1):7

[8] Tafsir Ibn Katsīr, juz 1, h. 153

[9] Tafsir Ibn Katsīr, juz 1, h. 43

[10] Lihat : Tafsir Ibn Katsīr, Imam Ibn Katsīr, dar al-Fikr, beirut, juz 7 hal 411 tentang surah al-Ikhlas

Selasa, 09 Juni 2009

Tafsir Ibn Katsīr Sebagai Tafsir Tahlili

Tafsir Ibn Katsīr Sebagai Tafsir Tahlili

Tafsir tahlili merupakan salah satu metode tafsir yang digunakan mufassir dalam menginterpretasikan al-Qur’an. 2 (dua) faktor utama yang membedakannya dengan tafsir lainnya – ijmaly, muqaran dan maudhu’y – yaitu : 1) menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menurut tertib mushaf utsmany di awali surah al-Fatihah diakhiri surah an-Nas[1]. 2) Menjelaskan ayat-ayat secara terperinci dengan berbagai sudut pandang / multi aspek sehingga sang mufassir belum melangkah ke ayat berikutnya jika ayat sebelumnya belum tuntas di bahas[2] berdasarkan pemahaman dan wawasan mufassir tersebut. Multi aspek yang dimaksud adalah asbāb al-Nuzūl, Hadis pendukung ; tafsir Rasul, penjelasan nama surah, keutamaan,dll. , pandangan mufassir sebelumnya dari kalangan sahabat, tabi’in ,dst, penjelasan kosakata dan munasabah.

Tafsir al-Qur’ān al-’Azhīm, tafsir Ibn Katsīr, merupakan salah satu jenis tafsir tahlili. Oleh karena itu, tafsir Ibn Katsīr seyogyanya memenuhi dua faktor utama tersebut yang mengindikasikan bahwa tafsir itu merupakan tafsir tahlili.

1. Tertib Mushaf Utsmany

Tidak diragukan lagi bahwa Ibn Katsīr memulai menuangkan tinta tafsirnya dengan surah al-Fātihah ditutup surah an-Nās, ayat-ayat yang ditafsirkan secara teratur berurut mulai dari surah pertama, kedu hingga surah terakhir tanpa melangkahi surah yang satu dengan lainnya, ayat pertama dari surah pertam, ayat keduanya, ketiga hingga ayat terakhir dari surah terakhir. Tiada satu ayat pun yang luput ditafsirkan oleh Abu Fida, Ibn Katsīr, apalagi satu surah yang ia luputi, pasti tidak ada. Dari aspek ini semua mufassir sepakat bahwa tafsir Ibn Katsīr sesuai tertib mushaf utsmany maka berdasarkan faktor ini tafsirnya dapat dikategorikan sebagai tafsir tahlili, mari kita lihat faktor berikutnya.

2. Menafsirkan ayat secara terperinci dari berbagai aspek

Faktor ini merupakan hal utama dari tafsir tahlili karena asal kata tahlili ialah menguraikan sesuatu. Dalam bidang biologi, penggunaan kata tahlili digunakan ketika peneliti ingin mengetahui, menguraikan[3] dan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang suatu benda dan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya baik bersifat kimiawi maupun biologis. Dalam buah jeruk misalkan, hasilnya ditemukan bahwa unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah vitamin C, vitamin A, Zat Amino dan mineral-nutrisi lainnya, bahkan dapat diketahui juga zat-zat yang berbahaya di dalamnya bagi manusia secara umum atau oknum dari manusia tertentu seperti penderita maag.

Kembali ke kata tahlili dalam bidang tafsir, menguraikan ayat dari berbagai aspek dan mengetahui berbagai informasi tentang ayat itu bahkan mengetahui bagaimana penggunanaan yang tepat sesuai dengan konteks masalah dan temponya merupakan intisari dari metode ini. Faktor ini dapat membantu pembaca mengakses berbagai info dan data tentang satu ayat atau surah yang dikehendaki disamping terlalu luasnya menyebabkan tak selesainya masalah tersebut. Satu yang perlu diingat bahwa mufassir tak akan berpindah ke ayat lain sebelum tuntas menurut ketuntasan mufassir, aspek ini dipengaruhi luas dan lebarnya wawasan mufassir dan aspek ini meliputi berbagai unsur yaitu :

a. Asbāb Al-Nuzūl

Imam Ibn Katsīr dalam tafsirnya senantiasa menyebutkan asbāb al-Nuzūl selama ayat tersebut memiliki asbāb al-Nuzūl. Merupakan nilai plus bagi Abu Fida – dibanding tafsir bi al-Ma’tsur lainnya – karena dapat menfilterisasi riwayat-riwayat yang sahih atau tidak sehingga menjaga kemurniaan dan kebenaran asbāb al-Nuzūl yang semestinya.

Contohnya:

asbāb al-Nuzūl surah al-Ikhlas amat banyak dan beragam tapi riwayat terpilih adalah bahwa orang yahudi berkata : Uzair itu adalah anak Allah. Nasrani mengatakan bahwa Isa anak Allah. Majuzi mengemukakan bahwa Matahari dan bulan adalah tuhan Kami sedangkan musyrik bersaksi bahwa berhala adalah tuhan kami., maka turunlah surah ini yang menegaskan bahwa Tuhan itu Esa, Allah SWT, tidak beranak dan diperanakkan.[4]

b. Dukungan Hadis, baik sebagai tafsiran, penjelasan nama atau keutamaan surah.

Seperti sebelumnya unsur ini terkait dengan periwayatan, yang merupakan hal yang ditekuni dan dikuasai Imam Ibn Katsīr hingga memnbantunya dalam kritik sanad dan matan. Dalam unsur ini, contoh tafsir Ibn Katsīr banyak mencantumkan riwayat dari Rasul diantaranya tafsiran Rasul tentang makna ”al-maghdūbi ’alaihim wa lā al-Dhālin”[5] seraya menjelaskan bahwa yang dimaksud itu adalah yahudi dan nasrani.[6]

c. Pandangan Mufassir sebelumnya

Contohnya : dalam juz 7 halaman 312, mujahid beragumen tentang makna kata samad[7] bahwa yang bulat tak dapat dibagi-bagi, Asy-Sya’by menambahkan bahwa samad itu tidak makan, tidak minum dan tidak butuk kepada apapun dan siapapun. Di ayat lain Qatadah memberi penjelasan tentang firman Allah SWT ” lā ta’kulū amwālakum baynakum bi al-Bāthil”[8] bahwa secara zhahir ayat ini menyatakan larangan memakan harta orang lain secara batil dan kebolehan selainnya – yang dilarang hanya memakannya kalau meminum, membelikan rumah atau membakarnya boleh – Ia berkata bahwa disebutkannya kata memakan menunjukkan secara umum yang dapat diartikan mengkomsumsi, karena memakan tujuan utama dari kepemilikan harta.[9]

Suatu kelebihan dalam tafsir ini adalah kemampuan pengarangnya meramu dan memadu berbagai pandangan mufassir sebelumnya karena beliau menganggap perbedaan itu tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil[10] (mendasar).

d. Penjelasan Kosakata

Penjelasan kosakata dalam tafsir ini dilakukan secara global, artinya tak semua kata perkata dalam suatu ayat dijelaskan secara bahasa maupun istilah dan atau metodenya dengan mengutip periwayatan mufassir sebelumnya[11].

Contohnya :

rāb” dijelaskan secara bahasa yaitu bermakna tuan tapi ditambahkan ditambahkan dengan pandangan mufassir sebelumnya yaitu pengatur, pelindung dan yang memperbaiki[12]. Adapun contoh tafsiran yang tidak menggunakan penjelasan kata secara bahasa langsung menafsirkan menurut pandangan ulama yaitu penjelasan kata samad menurut Mujahid, Asy-Sya’aby, dll, sebagaimana yang telah disebut sebelumnya

e. Munasabah

Jika munasabah yang di maksud adalah mengapa ayat ini datang setelah ayat ini atau surah ini datang sebelum surah ini,dll secara terperinci tidak kami – mengingat tafsir condong ke periwayatan – Tapi mengenai keselaran penjelasan antara ayat yang satu dengan lainnya biasa ditemukan dalam tafsirnya.

Contohnya :

Juz 1 halaman 123 tercantum ” a taj’alu fihā man yufsidu fihā wa yasfiku al-Dima ” kalimat ini dilontarkan malaikat dengan maksud ya Allah apa hikmahnya engkau menciptakannyan sebab jika hanya tujuan ibadah cukuplah kami yang senatiasa berdzikir dan bertasbih kepada-Mu siang dan malam, maka Alla menjawab pertanyaan mereka dengan penuh kasih sayang seraya berkata ”innī a’lamu ma lā ta’lamūn

Sekiranya tafsir Ibn Katsīr tidak memiliki unsur ini, tetap tidak dapat mempengaruhi bahwa tafsir ini bukan tafsir tahlili karena ini hanya satu unsur dari lima unsur lainnya dalam faktor ke-2 belum lagi - tanpa merendahkan ilmu munasabah – munasabah hanya merupakan unsur tidak termasuk ke dalam dua faktor utama.

Jadi, dari tinjauan kedua faktor tafsir tahli disertai kelima unsur dari faktor kedua maka kita dapat menyimpulkan bahwa tafsir Ibn Katsīr sungguh tafsir tahlili, bi al-Ma’tsur. Salah satu kelebihan lainnya selain yang telah dipaparkan adalah kemampuannya meramu ayat dengan ayat lainnya dalam konteks penafsiran ayat dengan ayat dengan kalimat yang sederhana dan terarah, membandingkan antara dua ayat hingga mendapat makna yang diinginkan[13].

Contohnya :

” lam yalid walam yūlad” ia menafsirkan ayat ini dengan ayat lainnya yaitu ”wa qalūt takhadza al-Rahmān waladan subhanahū bal ’bādun mukramūn” dan ayat lainnya ” in da’awu al-Rahmān waladan wa mā yanbaghy li al-Rahmān an yattakhdza walad”[14].

Demikian dari kami, lebih dan kurangnya mohon dimaklumi dan dimaafkan karena sifat maaf dekat dengan takwa, dan takwa sifat dambaan mukmin.

Sekian...



[1] Terdapat banyak jenis mushaf di kalangan sahabat seperti mushaf Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, dll. Tapi, ketika mushaf utsmany selesai dibuat mushaf-mushaf lainnya dibakar. Untuk lebih lanjutnya baca : Tarikh al-Qur’an, Abu Abdullah Az-Zanjani, Islamic Propagation organization, Iran, 1984 M/1404 H.

[2] Berdasarkan penjelasan dosen bahwa kriteria utamanya ada tiga. Tapi, penulis berpendapat hanya dua karena kriteria ke-2 dan ke-3 disatukan. Penulis menganggap keduanya memiliki persamaan dan saling berhubungan yang karenanya dapat disatukan.

[3] Hal ini penulis peroleh dari keterangan Syaikh M Hammad, Pengajar Tafsir Tahlili semester IV.

[4] Lihat : Tafsir Ibn Katsīr, Imam Ibn Katsīr, dar al-Fikr, beirut, juz 7 hal 411 tentang surah al-Ikhlas

[5] Q.S. al-Fatihah (1):7

[6] Tafsir Ibn Katsīr, juz 1, h. 153

[7] Q.S. al-Ikhlas (112):2

[8] Q.S. an-Nisa (3):29

[9] Tafsir Ibn Katsīr, juz 2, h. 253

[10] Lihat : Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim, PT. Grafindo Persada: Jakarta, 2006, h.62

[11] Perlu diingat bahwa tafsir ini merupakan tafsir bi al-Ma’tsur, yang mengedepankan periwayatan-periwayatan di banding penggunaan akal.

[12] Tafsir Ibn Katsīr, juz 1, h. 43

[13] Lihat : Tafsir al-Mufassirun, Al-Dzahaby, maktabah mush’ab ibn umar al-Islamiyah, 2004 M/1424 H,I, h.175.

[14] Tafsir Ibn Katsīr, juz 7, h. 413.