Rabu, 10 Juni 2009

Tafsir Al-Tastariy Sebagai Tafsir Isyāriy

Tafsir Al-Tastariy Sebagai Tafsir Isyāriy

Tafsir isyāriy merupakan salah satu metode tafsir shufiy yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur'ān dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya.[1]

Tafsir isyāriy merupakan tafsir shufiy praktis bukan tafsir shufiy teoritis - sebagaimana jenis tafsir shufiy lainnya - . Tafsir Isyāriy merupakan tafsir berdasarkan dzauq bukan fikr. Olehnya, secara sepintas tafsir ini merupakan tafsir yang irrasional tapi hal itu belum tentu memastikan ketidakhujjahannya sebagai sumber khazanah tafsir dan intelektual bagi umat Islam karena tafsir ini telah diperoleh oleh shohibnya melalui pengalaman ritual-spritual dalam perjalannya mencari kebenaran dan pendekatan kepada Sang Kekasih, Allah ta’ālā.

Melindungi kemurnian dan kevalidan ajaran Islam jauh lebih penting sekedar langsung menerima segala informasi yang diperoleh shohibnya. Untuk itu, penentuan kriteria-kriteria penerimaannya sebagai hujjah perlu ditentukan, adapun kriteria yang dimaksudkan adalah sebagai berikut 1) Tidak bertentangan dengan lahir ayat. 2) Mempunyai dasar rujukan dari ajaran agama yang sekaligus berfungsi sebagai penguaatnya. 3) Tidak bertentangan dengan ajaran agama atau akal. 4) Tidak menganggap bahwa penafsiran itulah yang paling benar dan dikehendaki oleh Allah [2].

Tafsir al-Qur’ān al-’Azhīm, tafsir al-Tastariy/al-Tustariy (w.283 H), merupakan salah satu jenis tafsir isyāriy. Oleh karena itu, tafsir al-Tastariy seyogyanya memenuhi batasan dari pengertian tersebut dan empat kriteria penerimaannya.

Abu Muhammad Sahl ibn Abdillah ibn Yunus al-Tustari, salah seorang pemuka dan ulama kaum sufi, juga teolog kalam di bidang ilmu keikhlasan, olah jiwa (riyadhat al-nafs) berkata:"Tidak ada jalan yg lebih mendekatkan seorang hamba dengan Tuhannya melebihi rasa butuh kepada Allah." .

Ibn Taymiyah salah satu penggemar al-Tustariy. Yang perlu digaris bawahi adalah, pada tahun 200-300 H merupakan masa keemasan bidang tasawwuf, yang mana al-Tustariy hidup pada masa itu. Adapun penyimpangan, penyelewengan, dan kesesatan dalam tasawuf terjadi pada abad-abad berikutnya.

Kita dapat menyimpulkan dari dua alinea sebelumnya bahwa al-Tustari merupakan salah satu sufi dan adapun tafsir yang beliau karangan merupakan karya pengalaman ritual-spritual beliau dalam suluknya. Mengenai apakah jenis tasawwuf yang diperpeganginya termasuk sesat atau tidak maka hal itu dapat dijawab oleh Ibnu Tailiyah berupa kegamumannya terhadap al-Tustariy dan penjelasannya tentang kapan periode keemasan dan penyelewengan tasawwuf..

Memberi contoh kemudian menyesuaikannya apakah sesuai kriteria penerimaan atau tidak merupakan tindakan yang mesti penulis lakukan guna membuktikan secara kongkrik apakah tafsir al-Tustariy merupakan tafsir Isyāriy atau tidak.

Contoh yang penulis gunakan terambil dari web karena tiada tersedianya buku tersebut dala perpustakaan kampus UIN Alauddin. Dalam bentuk terjemahan tafsirnya yang cukup panjang seyogyanya ditelaah dan diteliti bahkan dibaca berulang guna menangkap alur makna dan pesan yang ingin disampaikan

CINTA ALLAH DAN SIDRATUL MUNTAHA

Al-Tustari menggambarkan Sidratul Muntaha sebagai pohon dimana batas-batas pengetahuan semua manusia berakhir [128]. Sahl melanjutkan, “Ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, ini berarti bahwa Sidrah Nur Muhammad SAW dalam pengabdiannya, seperti anai-anai emas al-Haqq mengirimnya keluar sebagai mukjizat dari sirr-Nya. Semuanya mengabdi untuk memperbesar dukungan baginya ketika dia dipenuhi mawarid (yang mendekat).”

Dalam penafsirannya, al-Tustari memang menafsirkan makna tersembunyi QS 53:13-17 yang secara langsung sebenarnya menginformasikan kondisi ruhaniah Nabi Muhammad SAW pada saat beliau mengalami Isra & Mi’raj. Yang menarik, penafsiran Sahl al-Tustari dikaitkan dengan penciptaan semua makhluk, sehingga untuk menegaskan Sidratul Muntaha dia menjelaskan pengertian QS 53:13 dengan berkata, “Ini maknanya padanya ketika Allah Azza wa Jalla menciptakannya sebagai cahaya dalam bentuk tiang cahaya (nūran fi ‘amūd al-nūr), ribuan tahun sebelum penciptaan makhluk, dengan tashrīf iman yang menyingkapkan rahasia melalui rahasia. Dia berdiri dihadapan-Nya dengan penghambaan.”

Selanjutnya, untuk QS 15:17, ia menjelaskan kondisi fana Nabi Muhammad SAW dengan berkata “Dia tidak cenderung kepada tanda-tanda dari dirinya sendiri. Malahan dia menyaksikan melalui keuniversalan Tuhannya Yang Maha Tinggi, menyaksikan sifat-sifat yang dimanifestasikan kepadanya dan yang membutuhkan konsistensi (keistiqamahan) dalam tahapan tersebut.”

Selanjutnya al-Tustari menguraikan QS 53:18 sebagai penegasan peran Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir yang menyempurnakan risalah kenabian dan kerasulan, juga menyempurnakan hakikat manusia untuk menuju akhlak mulia yang membedakannya dengan makhluk yang lainnya. Pernyataan ini, menurut Sahl, merujuk pada sifat-sifat yang tampak dari ayat-ayat-Nya. Dia melihat mereka, tetapi ketika melihat mereka, dia tidak dapat melepaskan objek persaksiannya dan tidak terputus dari kedekatan dengan obyek penyembahannya. Penglihatan tersebut hanya bertambah dalam cinta, kerinduan, dan kekuatan. Allah memberinya kekuatan untuk memikul tajalli dan iluminasi sublim. Hal itu merupakan anugerah khusus untuknya diatas seluruh nabi lainnya. Tidakkah engkau melihat bagaimana Musa a.s. jatuh pada manifestasi tersebut? Dalam pengalaman ganda intensitas tersebut, Nabi SAW menerobos batas psikologisnya dalam penyaksian yang berhadap-hadapan dengan tatapan hatinya. Dia berpegang teguh kepada kekuatan ahwal-nya (kondisi ruhaniahnya) serta kemuliaan tingkat maqam-nya (peringkat ruhaninya) [128].

Dalam ayat-ayat sebelumnya, QS 53:8-12, Nabi Muhammad SAW memiliki tingkat keadaan yang menjadi dekat dan lebih dekat lagi sehingga jaraknya sejauh dua busur anak panah bahkan lebih dekat lagi (QS 53:9). Dengan kedekatan yang saling berhadap-hadapan itu, maka respon hatinyapun tidak pernah lepas dari apa yang disaksikannya sebagai persaksian antara Tuhannya dengan ilmu dalam hatinya “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya (QS 53:11)”. “Maka apakah kamu membantahnya atas apa yang telah dilihatnya (QS 53:12)”, yaitu dari kita dan melalui kita (yaitu tuhan merujuk kepada Diri-Nya Sendiri). Ayat ini menegaskan kembali kondisi fana yang dialami Nabi SAW dimana ia masih bisa mencerap suatu citarasa ruhaniah dihadapan Tuhannya yang terwakili oleh Tauhid Allah oleh Allah “Laa Huwa illaa Huwa (dia (Muhammad) bukan Tuhan tetapi tidak lain dari pada-Nya”.

Jadi, kondisi yang dialami Nabi SAW adalah suatu kesadaran ilahiah tertinggi, dimana ia merasa kediriannya menjadi kedirian Tuhan, namun dengan kedekatan yang masih berjarak (QS 53:8-9). Apa yang dia lihat dari diri kita dan melalui kita lebih baik daripada apa yang dia lihat melalui dirinya sendiri. Bisa dikatakan bahwa kondisi ruhaniah Nabi SAW seperti berada di ambang medan rahasia Sirr Al Asrar , ia berada diambang akhir dari singularitas mutlak, alam jabarut terakhir yang mendekati Kegaiban Mutlak Dzat Allah. Dan diambang Kegaiban Mutlak, dihadapan Dzat Allah SWT, maka sebagai makhluk, Nabi Muhammad SAW dikuatkan oleh cahaya awal mula dirinya yaitu unifikasi “Nur Muhammad dan Rahmaatan Lil Aalamin” dalam lingkupan rahmat dan kasih sayang “Basmalah” dan menjadi cermin langsung Rabb Al-Aalamin.

Maka, jika ditinjau dari keempat kriteria penerimaan tafsir shufi kita dapat menyimpulkan bahwa tafsir al-Tustari sungguh termaksud tafsir isyāriy yang diterima karena 1) Tidak bertentangan dengan lahir ayat, penjelasannya tidak melenceng dari makna zahir mufradāt ayat yang ditafsirkannya. 2) Mempunyai dasar rujukan dari ajaran agama yang sekaligus berfungsi sebagai penguaatnya, karena melampirkan riwayat-riwayat. 3) Tidak bertentangan dengan ajaran agama atau akal, tiada satu nteks dari ayat dan hadis Nabi yang bertentangan dengannya. 4) Tidak menganggap bahwa penafsiran itulah yang paling benar dan dikehendaki oleh Allah, jelas ini tidak dilakukan oleh al-Tustari karena beliau merupakan sufi yang rendah hati tapi tetap berwawasan luas.

Demikian dari kami, lebih dan kurangnya mohon dimaklumi dan dimaafkan karena sifat maaf dekat dengan takwa, dan takwa sifat dambaan mukmin.

Sekian...


[1] DR. Abd al-Hay al-Farmawi, al-Bidatyatu Fi al-Tafsir al-Mawdhui, Dirasat Manhajiyyat Maudhuiyyat, Maktabat Jumhuriyyah Misr, Mesir, h.29

[2] Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun, 2( t.t.p. Dar al-Muktab al-Hadisah, 1976 M/1396 H) , h. 377

Tidak ada komentar:

Posting Komentar