Selasa, 09 Juni 2009

Tafsir Ibn Katsīr Sebagai Tafsir Tahlili

Tafsir Ibn Katsīr Sebagai Tafsir Tahlili

Tafsir tahlili merupakan salah satu metode tafsir yang digunakan mufassir dalam menginterpretasikan al-Qur’an. 2 (dua) faktor utama yang membedakannya dengan tafsir lainnya – ijmaly, muqaran dan maudhu’y – yaitu : 1) menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menurut tertib mushaf utsmany di awali surah al-Fatihah diakhiri surah an-Nas[1]. 2) Menjelaskan ayat-ayat secara terperinci dengan berbagai sudut pandang / multi aspek sehingga sang mufassir belum melangkah ke ayat berikutnya jika ayat sebelumnya belum tuntas di bahas[2] berdasarkan pemahaman dan wawasan mufassir tersebut. Multi aspek yang dimaksud adalah asbāb al-Nuzūl, Hadis pendukung ; tafsir Rasul, penjelasan nama surah, keutamaan,dll. , pandangan mufassir sebelumnya dari kalangan sahabat, tabi’in ,dst, penjelasan kosakata dan munasabah.

Tafsir al-Qur’ān al-’Azhīm, tafsir Ibn Katsīr, merupakan salah satu jenis tafsir tahlili. Oleh karena itu, tafsir Ibn Katsīr seyogyanya memenuhi dua faktor utama tersebut yang mengindikasikan bahwa tafsir itu merupakan tafsir tahlili.

1. Tertib Mushaf Utsmany

Tidak diragukan lagi bahwa Ibn Katsīr memulai menuangkan tinta tafsirnya dengan surah al-Fātihah ditutup surah an-Nās, ayat-ayat yang ditafsirkan secara teratur berurut mulai dari surah pertama, kedu hingga surah terakhir tanpa melangkahi surah yang satu dengan lainnya, ayat pertama dari surah pertam, ayat keduanya, ketiga hingga ayat terakhir dari surah terakhir. Tiada satu ayat pun yang luput ditafsirkan oleh Abu Fida, Ibn Katsīr, apalagi satu surah yang ia luputi, pasti tidak ada. Dari aspek ini semua mufassir sepakat bahwa tafsir Ibn Katsīr sesuai tertib mushaf utsmany maka berdasarkan faktor ini tafsirnya dapat dikategorikan sebagai tafsir tahlili, mari kita lihat faktor berikutnya.

2. Menafsirkan ayat secara terperinci dari berbagai aspek

Faktor ini merupakan hal utama dari tafsir tahlili karena asal kata tahlili ialah menguraikan sesuatu. Dalam bidang biologi, penggunaan kata tahlili digunakan ketika peneliti ingin mengetahui, menguraikan[3] dan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang suatu benda dan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya baik bersifat kimiawi maupun biologis. Dalam buah jeruk misalkan, hasilnya ditemukan bahwa unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah vitamin C, vitamin A, Zat Amino dan mineral-nutrisi lainnya, bahkan dapat diketahui juga zat-zat yang berbahaya di dalamnya bagi manusia secara umum atau oknum dari manusia tertentu seperti penderita maag.

Kembali ke kata tahlili dalam bidang tafsir, menguraikan ayat dari berbagai aspek dan mengetahui berbagai informasi tentang ayat itu bahkan mengetahui bagaimana penggunanaan yang tepat sesuai dengan konteks masalah dan temponya merupakan intisari dari metode ini. Faktor ini dapat membantu pembaca mengakses berbagai info dan data tentang satu ayat atau surah yang dikehendaki disamping terlalu luasnya menyebabkan tak selesainya masalah tersebut. Satu yang perlu diingat bahwa mufassir tak akan berpindah ke ayat lain sebelum tuntas menurut ketuntasan mufassir, aspek ini dipengaruhi luas dan lebarnya wawasan mufassir dan aspek ini meliputi berbagai unsur yaitu :

a. Asbāb Al-Nuzūl

Imam Ibn Katsīr dalam tafsirnya senantiasa menyebutkan asbāb al-Nuzūl selama ayat tersebut memiliki asbāb al-Nuzūl. Merupakan nilai plus bagi Abu Fida – dibanding tafsir bi al-Ma’tsur lainnya – karena dapat menfilterisasi riwayat-riwayat yang sahih atau tidak sehingga menjaga kemurniaan dan kebenaran asbāb al-Nuzūl yang semestinya.

Contohnya:

asbāb al-Nuzūl surah al-Ikhlas amat banyak dan beragam tapi riwayat terpilih adalah bahwa orang yahudi berkata : Uzair itu adalah anak Allah. Nasrani mengatakan bahwa Isa anak Allah. Majuzi mengemukakan bahwa Matahari dan bulan adalah tuhan Kami sedangkan musyrik bersaksi bahwa berhala adalah tuhan kami., maka turunlah surah ini yang menegaskan bahwa Tuhan itu Esa, Allah SWT, tidak beranak dan diperanakkan.[4]

b. Dukungan Hadis, baik sebagai tafsiran, penjelasan nama atau keutamaan surah.

Seperti sebelumnya unsur ini terkait dengan periwayatan, yang merupakan hal yang ditekuni dan dikuasai Imam Ibn Katsīr hingga memnbantunya dalam kritik sanad dan matan. Dalam unsur ini, contoh tafsir Ibn Katsīr banyak mencantumkan riwayat dari Rasul diantaranya tafsiran Rasul tentang makna ”al-maghdūbi ’alaihim wa lā al-Dhālin”[5] seraya menjelaskan bahwa yang dimaksud itu adalah yahudi dan nasrani.[6]

c. Pandangan Mufassir sebelumnya

Contohnya : dalam juz 7 halaman 312, mujahid beragumen tentang makna kata samad[7] bahwa yang bulat tak dapat dibagi-bagi, Asy-Sya’by menambahkan bahwa samad itu tidak makan, tidak minum dan tidak butuk kepada apapun dan siapapun. Di ayat lain Qatadah memberi penjelasan tentang firman Allah SWT ” lā ta’kulū amwālakum baynakum bi al-Bāthil”[8] bahwa secara zhahir ayat ini menyatakan larangan memakan harta orang lain secara batil dan kebolehan selainnya – yang dilarang hanya memakannya kalau meminum, membelikan rumah atau membakarnya boleh – Ia berkata bahwa disebutkannya kata memakan menunjukkan secara umum yang dapat diartikan mengkomsumsi, karena memakan tujuan utama dari kepemilikan harta.[9]

Suatu kelebihan dalam tafsir ini adalah kemampuan pengarangnya meramu dan memadu berbagai pandangan mufassir sebelumnya karena beliau menganggap perbedaan itu tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil[10] (mendasar).

d. Penjelasan Kosakata

Penjelasan kosakata dalam tafsir ini dilakukan secara global, artinya tak semua kata perkata dalam suatu ayat dijelaskan secara bahasa maupun istilah dan atau metodenya dengan mengutip periwayatan mufassir sebelumnya[11].

Contohnya :

rāb” dijelaskan secara bahasa yaitu bermakna tuan tapi ditambahkan ditambahkan dengan pandangan mufassir sebelumnya yaitu pengatur, pelindung dan yang memperbaiki[12]. Adapun contoh tafsiran yang tidak menggunakan penjelasan kata secara bahasa langsung menafsirkan menurut pandangan ulama yaitu penjelasan kata samad menurut Mujahid, Asy-Sya’aby, dll, sebagaimana yang telah disebut sebelumnya

e. Munasabah

Jika munasabah yang di maksud adalah mengapa ayat ini datang setelah ayat ini atau surah ini datang sebelum surah ini,dll secara terperinci tidak kami – mengingat tafsir condong ke periwayatan – Tapi mengenai keselaran penjelasan antara ayat yang satu dengan lainnya biasa ditemukan dalam tafsirnya.

Contohnya :

Juz 1 halaman 123 tercantum ” a taj’alu fihā man yufsidu fihā wa yasfiku al-Dima ” kalimat ini dilontarkan malaikat dengan maksud ya Allah apa hikmahnya engkau menciptakannyan sebab jika hanya tujuan ibadah cukuplah kami yang senatiasa berdzikir dan bertasbih kepada-Mu siang dan malam, maka Alla menjawab pertanyaan mereka dengan penuh kasih sayang seraya berkata ”innī a’lamu ma lā ta’lamūn

Sekiranya tafsir Ibn Katsīr tidak memiliki unsur ini, tetap tidak dapat mempengaruhi bahwa tafsir ini bukan tafsir tahlili karena ini hanya satu unsur dari lima unsur lainnya dalam faktor ke-2 belum lagi - tanpa merendahkan ilmu munasabah – munasabah hanya merupakan unsur tidak termasuk ke dalam dua faktor utama.

Jadi, dari tinjauan kedua faktor tafsir tahli disertai kelima unsur dari faktor kedua maka kita dapat menyimpulkan bahwa tafsir Ibn Katsīr sungguh tafsir tahlili, bi al-Ma’tsur. Salah satu kelebihan lainnya selain yang telah dipaparkan adalah kemampuannya meramu ayat dengan ayat lainnya dalam konteks penafsiran ayat dengan ayat dengan kalimat yang sederhana dan terarah, membandingkan antara dua ayat hingga mendapat makna yang diinginkan[13].

Contohnya :

” lam yalid walam yūlad” ia menafsirkan ayat ini dengan ayat lainnya yaitu ”wa qalūt takhadza al-Rahmān waladan subhanahū bal ’bādun mukramūn” dan ayat lainnya ” in da’awu al-Rahmān waladan wa mā yanbaghy li al-Rahmān an yattakhdza walad”[14].

Demikian dari kami, lebih dan kurangnya mohon dimaklumi dan dimaafkan karena sifat maaf dekat dengan takwa, dan takwa sifat dambaan mukmin.

Sekian...



[1] Terdapat banyak jenis mushaf di kalangan sahabat seperti mushaf Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, dll. Tapi, ketika mushaf utsmany selesai dibuat mushaf-mushaf lainnya dibakar. Untuk lebih lanjutnya baca : Tarikh al-Qur’an, Abu Abdullah Az-Zanjani, Islamic Propagation organization, Iran, 1984 M/1404 H.

[2] Berdasarkan penjelasan dosen bahwa kriteria utamanya ada tiga. Tapi, penulis berpendapat hanya dua karena kriteria ke-2 dan ke-3 disatukan. Penulis menganggap keduanya memiliki persamaan dan saling berhubungan yang karenanya dapat disatukan.

[3] Hal ini penulis peroleh dari keterangan Syaikh M Hammad, Pengajar Tafsir Tahlili semester IV.

[4] Lihat : Tafsir Ibn Katsīr, Imam Ibn Katsīr, dar al-Fikr, beirut, juz 7 hal 411 tentang surah al-Ikhlas

[5] Q.S. al-Fatihah (1):7

[6] Tafsir Ibn Katsīr, juz 1, h. 153

[7] Q.S. al-Ikhlas (112):2

[8] Q.S. an-Nisa (3):29

[9] Tafsir Ibn Katsīr, juz 2, h. 253

[10] Lihat : Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim, PT. Grafindo Persada: Jakarta, 2006, h.62

[11] Perlu diingat bahwa tafsir ini merupakan tafsir bi al-Ma’tsur, yang mengedepankan periwayatan-periwayatan di banding penggunaan akal.

[12] Tafsir Ibn Katsīr, juz 1, h. 43

[13] Lihat : Tafsir al-Mufassirun, Al-Dzahaby, maktabah mush’ab ibn umar al-Islamiyah, 2004 M/1424 H,I, h.175.

[14] Tafsir Ibn Katsīr, juz 7, h. 413.

2 komentar: